Isi

<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>

Revisi Revisi 905[Daftar Isi]
Bab BAB IV KETENAGAKERJAAN
Bagian Bagian Kedua Ketenagakerjaan
Paragraf
Judul Pasal 81
  Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia 4279) diubah:

1. Ketentuan Pasal 13 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 13

(1) Pelatihan kerja diselenggarakan oleh:

a. lembaga pelatihan kerja pemerintah;

b. lembaga pelatihan kerja swasta; atau

c. lembaga pelatihan kerja perusahaan.

(2) Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat
pelatihan atau tempat kerja.

(3) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam
menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama
dengan swasta.

(4) Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan lembaga pelatihan
kerja perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di
kabupaten/kota.

2. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 14

(1) Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b wajib memenuhi
Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Bagi lembaga pelatihan kerja swasta yang terdapat
penyertaan modal asing, Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh
Pemerintah Pusat.

(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) harus memenuhi norma, standar, prosedur,
dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.


3. Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 37

(1) Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri atas:

a. instansi pemerintah yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan; dan

b. lembaga penempatan tenaga kerja swasta.

(2) Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam melaksanakan
pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memenuhi
Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah
Pusat.

(3) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

4. Ketentuan Pasal 42 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 42

(1) Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja
asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja
asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.

(2) Pemberi kerja orang perseorangan dilarang
mempekerjakan tenaga kerja asing.

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi:

a. direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham
tertentu atau pemegang saham sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor
perwakilan negara asing; atau

c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh Pemberi
Kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti
karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan
(start-up) , kunjungan bisnis, dan penelitian untuk
jangka waktu tertentu.

(4) Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia
hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu
dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai
dengan jabatan yang akan diduduki.

(5) Tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang
mengurusi personalia.

(6) Ketentuan mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.


5. Ketentuan Pasal 43 dihapus.

6. Ketentuan Pasal 44 dihapus.

7. Ketentuan Pasal 45 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 45

(1) Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib:

a. menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia
sebagai tenaga pendamping tenaga kerja asing yang
dipekerjakan untuk alih teknologi dan alih keahlian
dari tenaga kerja asing;

b. melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi
tenaga kerja Indonesia sebagaimana dimaksud pada
huruf a yang sesuai dengan kualifikasi jabatan yang
diduduki oleh tenaga kerja asing; dan

c. memulangkan tenaga kerja asing ke negara asalnya
setelah hubungan kerjanya berakhir.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b tidak berlaku bagi tenaga kerja asing yang
menduduki jabatan tertentu.

8. Ketentuan Pasal 46 dihapus.

9. Ketentuan Pasal 47 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 47

(1) Pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap
tenaga kerja asing yang dipekerjakannya.

(2) Kewajiban membayar kompensasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi instansi
pemerintah, perwakilan negara asing, badan
internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan
jabatan tertentu di lembaga pendidikan.

(3) Ketentuan mengenai besaran dan penggunaan
kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

10. Ketentuan Pasal 48 dihapus.

11. Ketentuan Pasal 49 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 49

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tenaga kerja


asing diatur dengan Peraturan Pemerintah.

12. Ketentuan Pasal 56 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 56

(1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk
waktu tidak tertentu.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas:

a. jangka waktu; atau

b. selesainya suatu pekerjaan tertentu.

(3) Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan
berdasarkan perjanjian kerja.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu
tertentu berdasarkan jangka waktu atau selesainya
suatu pekerjaan tertentu diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

13. Ketentuan Pasal 57 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 57

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara
tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan
huruf latin.

(2) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam
bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian
terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka
yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat
dalam bahasa Indonesia.

14. Ketentuan Pasal 58 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 58

(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
mensyaratkan adanya masa percobaan kerja.

(2) Dalam hal disyaratkan masa percobaan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa percobaan
kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum dan
masa kerja tetap dihitung.

15. Ketentuan Pasal 59 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 59


(1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat
dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan
sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam
waktu tertentu, yaitu:

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara
sifatnya;

b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam
waktu yang tidak terlalu lama;

c. pekerjaan yang bersifat musiman;

d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,
kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih
dalam percobaan atau penjajakan; atau

e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya
bersifat tidak tetap.

(2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat
diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

(3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2), maka demi hukum menjadi perjanjian
kerja waktu tidak tertentu.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau
kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu
perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

16. Ketentuan Pasal 61 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 61

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila:

a. pekerja/buruh meninggal dunia;

b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

c. selesainya suatu pekerjaan tertentu;

d. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap; atau

e. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang
dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang
dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya
pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang
disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.

(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak
pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru,
kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan
yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.

(4) Dalam hal pengusaha orang perseorangan meninggal


dunia, ahli waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian
kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh.

(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris
pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan atau hak-hak
yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

17. Di antara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 61A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61A

(1) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b
dan huruf c, pengusaha wajib memberikan uang
kompensasi kepada pekerja/buruh.

(2) Uang kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada pekerja/buruh sesuai dengan masa
kerja pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai uang kompensasi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

18. Ketentuan Pasal 64 dihapus.

19. Ketentuan Pasal 65 dihapus.

20. Ketentuan Pasal 66 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 66

(1) Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada
perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis baik
perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu.

(2) Perlindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan,
syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul
dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi
tanggung jawab perusahaan alih daya.

(3) Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
perjanjian kerja tersebut harus mensyaratkan
pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh
apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya dan
sepanjang objek pekerjaannya tetap ada.

(4) Perusahaan alih daya sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi


Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah
Pusat.

(5) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

21. Ketentuan Pasal 77 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 77

(1) Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu
kerja.

(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:

a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam
1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1
(satu) minggu; atau

b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)
jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1
(satu) minggu.

(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan
tertentu.

(4) Pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di
perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja pada sektor
usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

22. Ketentuan Pasal 78 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 78

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi
waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat

(2) harus memenuhi syarat:

a. ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan;
dan

b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling
lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18
(delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi
waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
membayar upah kerja lembur.


(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha
atau pekerjaan tertentu.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan
upah kerja lembur diatur dengan Peraturan Pemerintah.

23. Ketentuan Pasal 79 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 79

(1) Pengusaha wajib memberi:

a. waktu istirahat; dan

b. cuti.

(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling
sedikit meliputi:

a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah
jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus
menerus dan waktu istirahat tersebut tidak
termasuk jam kerja; dan

b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu.

(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang
wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti
tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah
pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12
(dua belas) bulan secara terus menerus.

(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu
dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.

24. Ketentuan Pasal 88 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 88

(1) Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.

(2) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan
sebagai salah satu upaya mewujudkan hak
pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.

(3) Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi:

a. upah minimum;


b. struktur dan skala upah;

c. upah kerja lembur;

d. upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan
pekerjaan karena alasan tertentu;

e. bentuk dan cara pembayaran upah;

f. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan

g. upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran
hak dan kewajiban lainnya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

25. Di antara Pasal 88 dan Pasal 89 disisipkan 5 (lima) pasal
yakni, Pasal 88A, Pasal 88B, Pasal 88C, Pasal 88D, dan Pasal
88E sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88A

(1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi
hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan
kerja.

(2) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang
sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.

(3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh
sesuai dengan kesepakatan.

(4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas
kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh
atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih
rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan.

(5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut
batal demi hukum dan pengaturan pengupahan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 88B

(1) Upah ditetapkan berdasarkan:

a. satuan waktu; dan/atau

b. satuan hasil.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah berdasarkan
satuan waktu dan/atau satuan hasil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Pasal 88C

(1) Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi.


(2) Gubernur dapat menetapkan upah minimum
kabupaten/kota dengan syarat tertentu.

(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi
dan ketenagakerjaan.

(4) Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada
kabupaten/kota yang bersangkutan.

(5) Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus lebih tinggi dari upah minimum
provinsi.

(6) Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) menggunakan data yang
bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang
statistik.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan
upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 88D

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C
ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan
formula perhitungan upah minimum.

(2) Formula perhitungan upah minimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memuat variabel pertumbuhan
ekonomi atau inflasi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai formula perhitungan
upah minimum diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 88E

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C
ayat (1) dan ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh dengan
masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan
yang bersangkutan.

(2) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari
upah minimum.

26. Ketentuan Pasal 89 dihapus.

27. Ketentuan Pasal 90 dihapus.

28. Di antara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan 2 (dua) pasal
yakni Pasal 90A dan Pasal 90B sehingga berbunyi sebagai
berikut:


Pasal 90A

Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan
kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh di
perusahaan.

Pasal 90B

(1) Ketentuan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dikecualikan bagi Usaha
Mikro dan Kecil.

(2) Upah pada Usaha Mikro dan Kecil ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan
pekerja/buruh di perusahaan.

(3) Kesepakatan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sekurang-kurangnya sebesar persentase tertentu dari
rata-rata konsumsi masyarakat berdasarkan data yang
bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang
statistik.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai upah bagi Usaha Mikro
dan Kecil diatur dengan Peraturan Pemerintah.

29. Ketentuan Pasal 91 dihapus.

30. Ketentuan Pasal 92 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 92

(1) Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di
perusahaan dengan memperhatikan kemampuan
perusahaan dan produktivitas.

(2) Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman
pengusaha dalam menetapkan upah.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala
upah diatur dengan Peraturan Pemerintah.

31. Di antara Pasal 92 dan Pasal 93 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 92A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 92A

Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala
dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan
produktivitas.

32. Ketentuan Pasal 94 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 94

Dalam hal komponen upah terdiri atas upah pokok dan


tunjangan tetap, besarnya upah pokok paling sedikit 75%
(tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan
tunjangan tetap.

33. Ketentuan Pasal 95 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 95

(1) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,
upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh
pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan
pembayarannya.

(2) Upah pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran
kepada semua kreditur.

(3) Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua
kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan
kebendaan.

34. Ketentuan Pasal 96 dihapus.

35. Ketentuan Pasal 97 dihapus.

36. Ketentuan Pasal 98 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 98

(1) Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada
Pemerintah dalam perumusan kebijakan pengupahan
serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan
pengupahan.

(2) Dewan pengupahan terdiri atas unsur Pemerintah,
organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh,
pakar dan akademisi.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan,
komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan
pemberhentian keanggotaan, serta tugas dan tata kerja
dewan pengupahan, diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

37. Ketentuan Pasal 151 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 151

(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat
buruh, dan pemerintah, harus mengupayakan agar tidak
terjadi pemutusan hubungan kerja.


(2) Dalam hal pemutusan hubungan kerja tidak dapat
dihindari maka maksud dan alasan pemutusan
hubungan kerja diberitahukan oleh pengusaha kepada
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.

(3) Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak
pemutusan hubungan kerja maka penyelesaian
pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui
perundingan bipartit antara pengusaha dengan
pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.

(4) Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka
pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap
berikutnya sesuai mekanisme penyelesaian perselisihan
hubungan industrial.

38. Di antara Pasal 151 dan Pasal 152 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 151A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 151A

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat

(2) tidak perlu dilakukan oleh Pengusaha dalam hal:

a. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan
sendiri;

b. pekerja/buruh dan pengusaha berakhir hubungan
kerjanya sesuai perjanjian kerja waktu tertentu;

c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama;atau

d. pekerja/buruh meninggal dunia.

39. Ketentuan Pasal 152 dihapus.

40. Ketentuan Pasal 153 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 153

(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan
kerja kepada pekerja/buruh dengan alasan:

a. berhalangan masuk kerja karena sakit menurut
keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12
(dua belas) bulan secara terus-menerus;

b. berhalangan menjalankan pekerjaannya karena
memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

d. menikah;

e. hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau


menyusui bayinya;

f. mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan
perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam
satu perusahaan;

g. mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus
serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh
melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di
luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas
kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;

h. mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib
mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan
tindak pidana kejahatan;

i. berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna
kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau
status perkawinan;

j. dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan
kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang
menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.

(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan
alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) batal demi
hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali
pekerja/buruh yang bersangkutan.

41. Ketentuan Pasal 154 dihapus.

42. Di antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu)
pasal yakni Pasal 154A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 154A

(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:

a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan;

b. perusahaan melakukan efisiensi;

c. perusahaan tutup yang disebabkan karena
perusahaan mengalami kerugian;

d. perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan
memaksa (force majeur).

e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban
pembayaran utang;

f. perusahaan pailit;

g. perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan
pekerja/buruh;

h. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan
sendiri;


i. pekerja/buruh mangkir;

j. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan
yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;

k. pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib;

l. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau
cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat
melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas
12 (dua belas) bulan;

m. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau

n. pekerja/buruh meninggal dunia.

(2) Selain alasan pemutusan hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan alasan
pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara pemutusan hubungan kerja diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

43. Ketentuan Pasal 155 dihapus.

44. Ketentuan Pasal 156 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 156

(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau
uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian
hak yang seharusnya diterima.

(2) Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai
berikut:

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan
upah;

b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang
dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang


dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan)
bulan upah.

(3) Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan
sebagai berikut:

a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;

b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang
dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan
upah;

d. masa kerja 12 (duabelas) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan
upah;

e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan
upah;

f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh)
bulan upah;

g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8
(delapan) bulan upah;

h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih,
10 (sepuluh) bulan upah.

(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan
keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh
diterima bekerja;

c. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang
penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

45. Ketentuan Pasal 157 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 157

(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar
perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan
masa kerja, terdiri atas:


a. upah pokok;

b. tunjangan tetap yang diberikan kepada
pekerja/buruh dan keluarganya.

(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas
dasar perhitungan harian, upah sebulan sama dengan
30 (tiga puluh) dikali upah sehari.

(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar
perhitungan satuan hasil, upah sebulan sama dengan
penghasilan rata-rata dalam 12 (dua belas) bulan
terakhir.

(4) Dalam hal upah sebulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) lebih rendah dari upah minimum maka upah
yang menjadi dasar perhitungan pesangon adalah upah
minimum yang berlaku di wilayah domisili perusahaan.

46. Di antara Pasal 157 dan Pasal 158 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 157A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 157A

(1) Selama proses penyelesaian perselisihan hubungan
industrial, pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap
melaksanakan kewajibannya.

(2) Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada
pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan
hubungan kerja dengan tetap membayar upah beserta
hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

(3) Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses
penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai
tingkatannya.

47. Ketentuan Pasal 158 dihapus.

48. Ketentuan Pasal 159 dihapus.

49. Ketentuan Pasal 160 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 160

(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib
karena diduga melakukan tindak pidana maka
pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib
memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh
yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai
berikut:

a. untuk 1 (satu) orang tanggungan, 25% (dua puluh
lima perseratus) dari upah;

b. untuk 2 (dua) orang tanggungan, 35% (tiga puluh


lima perseratus) dari upah;

c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan, 45% (empat puluh
lima perseratus) dari upah;

d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih, 50%
(lima puluh perseratus) dari upah.

(2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung
sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak
yang berwajib.

(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam)
bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana
mestinya karena dalam proses perkara pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana
sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan
tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan
pekerja/buruh kembali.

(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana
sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan
pekerja/buruh dinyatakan bersalah, pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja kepada
pekerja/buruh yang bersangkutan.

50. Ketentuan Pasal 161 dihapus.

51. Ketentuan Pasal 162 dihapus.

52. Ketentuan Pasal 163 dihapus.

53. Ketentuan Pasal 164 dihapus.

54. Ketentuan Pasal 165 dihapus.

55. Ketentuan Pasal 166 dihapus.

56. Ketentuan Pasal 167 dihapus.

57. Ketentuan Pasal 168 dihapus.

58. Ketentuan Pasal 169 dihapus.

59. Ketentuan Pasal 170 dihapus.


60. Ketentuan Pasal 171 dihapus.

61. Ketentuan Pasal 172 dihapus.

62. Ketentuan Pasal 184 dihapus.

63. Ketentuan Pasal 185 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 185

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69
ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E
ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), dan Pasal 160
ayat (4), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat

1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
merupakan tindak pidana kejahatan.

64. Ketentuan Pasal 186 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 186

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 93
ayat (2), Pasal 137, atau Pasal 138 ayat (1), dikenakan
sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.

65. Ketentuan Pasal 187 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 187

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1),
Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79
ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 85 ayat (3), atau
Pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling


singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.

66. Ketentuan Pasal 188 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 188

(1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1),
Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3),
Pasal 114 atau Pasal 148, dikenakan sanksi pidana
denda paling sedikit Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)
dan paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan tindak pidana pelanggaran.

67. Ketentuan Pasal 190 diubah, sehingga Pasal 190 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 190

(1) Pemerintah mengenakan sanksi administratif atas
pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal
25, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 42 ayat (1),
Pasal 47 ayat (1), Pasal 61A, Pasal 66 ayat (4), Pasal 87,
Pasal 92, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), dan Pasal 160
ayat (1) dan ayat (2), Undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

68. Di antara Pasal 191 dan Pasal 192 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 191A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 191A

Pada saat berlakunya Undang-Undang ini:

a. untuk pertama kali upah minimum yang berlaku yaitu
upah minimum yang telah ditetapkan berdasarkan
peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur
mengenai pengupahan.


b. bagi perusahaan yang telah memberikan upah lebih
tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum
Undang-Undang ini, pengusaha dilarang mengurangi
atau menurunkan upah.