Isi

<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>

Revisi Revisi 905[Daftar Isi]
Bab BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha
Bagian Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi
Paragraf Paragraf 11 Kesehatan, Obat, dan Makanan
Judul Pasal 64
  Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5360) diubah:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber
hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai
makanan atau minuman bagi konsumsi manusia,
termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan,
dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan
atau minuman.

2. Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang
secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang
menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang
memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan
sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya
lokal.

3. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan
bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam
dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan
kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat
perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya
alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara
bermartabat.

4. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan
bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin
dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah
maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,


keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

5. Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang
diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
manusia serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk
dikonsumsi.

6. Produksi Pangan adalah kegiatan atau proses
menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat,
mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau
mengubah bentuk Pangan.

7. Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan
dari hasil produksi dalam negeri, Cadangan Pangan
Nasional, dan Impor Pangan.

8. Cadangan Pangan Nasional adalah persediaan Pangan di
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
untuk konsumsi manusia dan untuk menghadapi
masalah kekurangan Pangan, gangguan pasokan dan
harga, serta keadaan darurat.

9. Cadangan Pangan Pemerintah adalah persediaan Pangan
yang dikuasai dan dikelola oleh Pemerintah.

10. Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi adalah persediaan
Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah
provinsi.

11. Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah
persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh
pemerintah kabupaten/kota.

12. Cadangan Pangan Pemerintah Desa adalah persediaan
Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah desa.

13. Cadangan Pangan Masyarakat adalah persediaan Pangan
yang dikuasai dan dikelola oleh masyarakat di tingkat
pedagang, komunitas, dan rumah tangga.

14. Penyelenggaraan Pangan adalah kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan dalam penyediaan,
keterjangkauan, pemenuhan konsumsi Pangan dan Gizi,
serta keamanan Pangan dengan melibatkan peran serta
masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu.

15. Pangan Pokok adalah Pangan yang diperuntukkan
sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan
potensi sumber daya dan kearifan lokal.


16. Penganekaragaman Pangan adalah upaya peningkatan
ketersediaan dan konsumsi Pangan yang beragam, bergizi
seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal.

17. Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh
masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan
lokal.

18. Pangan Segar adalah Pangan yang belum mengalami
pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau
yang dapat menjadi bahan baku pengolahan Pangan.

19. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil
proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau
tanpa bahan tambahan.

20. Petani adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan
maupun beserta keluarganya yang melakukan usaha tani
di bidang Pangan.

21. Nelayan adalah warga negara Indonesia, baik
perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata
pencahariannya melakukan penangkapan ikan.

22. Pembudi Daya Ikan adalah warga negara Indonesia, baik
perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata
pencahariannya membesarkan, membiakkan, dan/atau
memelihara ikan dan sumber hayati perairan lainnya
serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang
terkontrol.

23. Perdagangan Pangan adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan/atau
pembelian Pangan, termasuk penawaran untuk menjual
Pangan dan kegiatan lain yang berkenaan dengan
pemindahtanganan Pangan dengan memperoleh imbalan.

24. Ekspor Pangan adalah kegiatan mengeluarkan Pangan
dari daerah pabean negara Republik Indonesia yang
meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di
atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif, dan landas kontinen.

25. Impor Pangan adalah kegiatan memasukkan Pangan ke
dalam daerah pabean negara Republik Indonesia yang
meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di
atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi
Eksklusif, dan landas kontinen.

26. Peredaran Pangan adalah setiap kegiatan atau
serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran Pangan
kepada masyarakat, baik diperdagangkan maupun tidak.

27. Bantuan Pangan adalah Bantuan Pangan Pokok dan
Pangan lainnya yang diberikan oleh Pemerintah,


Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dalam
mengatasi Masalah Pangan dan Krisis Pangan,
meningkatkan akses Pangan bagi masyarakat miskin
dan/atau rawan Pangan dan Gizi, dan kerja sama
internasional.

28. Masalah Pangan adalah keadaan kekurangan, kelebihan,
dan/atau ketidakmampuan perseorangan atau rumah
tangga dalam memenuhi kebutuhan Pangan dan
Keamanan Pangan.

29. Krisis Pangan adalah kondisi kelangkaan Pangan yang
dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang
disebabkan oleh, antara lain, kesulitan distribusi Pangan,
dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan,
dan konflik sosial, termasuk akibat perang.

30. Sanitasi Pangan adalah upaya untuk menciptakan dan
mempertahankan kondisi Pangan yang sehat dan higienis
yang bebas dari bahaya cemaran biologis, kimia, dan
benda lain.

31. Persyaratan Sanitasi adalah standar kebersihan dan
kesehatan yang harus dipenuhi untuk menjamin Sanitasi
Pangan.

32. Iradiasi Pangan adalah metode penanganan Pangan, baik
dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator
untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan,
membebaskan Pangan dari jasad renik patogen, serta
mencegah pertumbuhan tunas.

33. Rekayasa Genetik Pangan adalah suatu proses yang
melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu
jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama
untuk mendapatkan jenis baru yang mampu
menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul.

34. Pangan Produk Rekayasa Genetik adalah Pangan yang
diproduksi atau yang menggunakan bahan baku, bahan
tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan
dari proses rekayasa genetik.

35. Kemasan Pangan adalah bahan yang digunakan untuk
mewadahi dan/atau membungkus Pangan, baik yang
bersentuhan langsung dengan Pangan maupun tidak.

36. Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar
kriteria keamanan dan kandungan Gizi Pangan.

37. Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam Pangan
yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin,
mineral, serat, air, dan komponen lain yang bermanfaat
bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.


38. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.

39. Pelaku Usaha Pangan adalah Setiap Orang yang bergerak
pada satu atau lebih subsistem agribisnis Pangan, yaitu
penyedia masukan produksi, proses produksi,
pengolahan, pemasaran, perdagangan, dan penunjang.

40. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan Pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

41. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau wali
kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah.

2. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 14

(1) Sumber penyediaan Pangan diprioritaskan berasal dari:

a. Produksi Pangan dalam negeri;

b. Cadangan Pangan Nasional; dan/atau

c. Impor Pangan.

(2) Sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan
kepentingan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan
Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil, melalui kebijakan
tarif dan non tarif.

3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 15

(1) Produksi Pangan dalam negeri digunakan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi Pangan

(2) Dalam hal Ketersediaan Pangan untuk kebutuhan
konsumsi dan cadangan Pangan sudah tercukupi,
kelebihan Produksi Pangan dalam negeri dapat digunakan
untuk keperluan lain.

4. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 36

(1) Impor Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
dalam negeri.


(2) Impor Pangan Pokok dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan nasional.

(3) Impor Pangan dan Pangan Pokok sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat dengan memperhatikan kepentingan Petani,
Nelayan, Pembudi Daya Ikan, Pelaku Usaha Pangan mikro
dan kecil.

5. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 39

Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan
Impor Pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani,
Peningkatan kesejahteraan petani, Nelayan, Pembudi Daya
Ikan, Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil.

6. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 68

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
terwujudnya penyelenggaraan Keamanan Pangan di
setiap rantai Pangan secara terpadu.

(2) Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan.

(3) Pelaku Usaha Pangan termasuk Usaha Mikro dan Kecil
wajib menerapkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).

(4) Penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria
Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan secara bertahap berdasarkan jenis Pangan
dan skala usaha Pangan.

(5) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah wajib
membina dan mengawasi pelaksanaan penerapan
norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan
Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat
(4).

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar,
prosedur dan kriteria keamanan Pangan termasuk
pentahapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

7. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 72


(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), Pasal 71 ayat (1) atau
ayat (2), dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) berupa:

a. denda;

b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
dan/atau peredaran;

c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;

d. ganti rugi; dan/atau

e. pencabutan Perizinan Berusaha.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

8. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 74

(1) Pemerintah Pusat berkewajiban memeriksa keamanan
bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan
Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi
kesehatan manusia dalam kegiatan atau proses Produksi
Pangan untuk diedarkan.

(2) Pemeriksaan keamanan bahan tambahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka
pemenuhan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

9. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 77

(1) Setiap Orang dilarang memproduksi Pangan yang
dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

(2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses
Produksi Pangan dilarang menggunakan bahan baku,
bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang
dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

10. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:


Pasal 81

(1) Iradiasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80
ayat (1) dilakukan berdasarkan Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

11. Ketentuan Pasal 87 dihapus.

12. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 88

(1) Pelaku Usaha Pangan di bidang Pangan Segar harus
memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan
Segar.

(2) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya wajib membina, mengawasi,
dan memfasilitasi pengembangan usaha Pangan Segar
untuk memenuhi persyaratan teknis minimal Keamanan
Pangan dan Mutu Pangan, berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.

(3) Penerapan standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan
Segar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara bertahap sesuai dengan jenis Pangan Segar serta
jenis dan/atau skala usaha.

13. Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan satu pasal yakni
Pasal 89A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 89A

(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 86 ayat (2),
atau Pasal 89 dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) berupa:

a. denda;

b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
dan/atau peredaran;

c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;

d. ganti rugi; dan/atau

e. pencabutan Perizinan Berusaha.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

14. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 91

(1) Dalam hal pengawasan keamanan, mutu, dan Gizi,
setiap Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau
yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan
eceran, Pelaku Usaha Pangan wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.

(2) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap produk
Pangan Olahan tertentu yang diproduksi oleh Usaha
Mikro dan Kecil.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

15. Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 133

Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau
menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk
memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan
Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau
denda paling banyak Rp150.000.000.000,00 (seratus lima
puluh miliar rupiah).

16. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 134

(1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan
tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja
tidak menerapkan tata cara pengolahan Pangan yang
dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan
kandungan Gizi bahan baku Pangan yang digunakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) yang
mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap
kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)


tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).

(2) Dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh setip orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah
atau sedang.

(3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72.

17. Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 135

(1) Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau
proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau
peredaran Pangan yang tidak memenuhi Persyaratan
Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya
korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan,
keamanan, dan lingkungan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(2) Dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah
atau sedang.

(3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72.

18. Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 139

(1) Setiap Orang yang dengan sengaja membuka kemasan
akhir Pangan untuk dikemas kembali dan
diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84
ayat (1), yang mengakibatkan timbulnya korban
gangguan kesehatan manusia, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

(2) Dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang


melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah
atau sedang.

(3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72.

19. Ketentuan Pasal 140 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 140

(1) Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan
Pangan yang dengan sengaja tidak memenuhi standar
Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

86 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban
gangguan kesehatan manusia, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(2) Dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah
atau sedang.

(3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89A.

20. Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 141

(1) Setiap Orang yang dengan sengaja memperdagangkan
Pangan yang tidak sesuai dengan Keamanan Pangan dan
Mutu Pangan yang tercantum dalam label Kemasan
Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 yang
mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan
manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun atau denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(2) Dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah
atau sedang.

(3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89A.


21. Ketentuan Pasal 142 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 142

(1) Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja tidak
memiliki Perizinan Berusaha terkait Pangan Olahan yang
dibuat didalam negeri atau yang diimpor untuk
diperdagangkan dalam kemasan eceran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
paling banyak Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).

(2) Dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah
atau sedang.