<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>
Revisi | Revisi 905[Daftar Isi] |
Bab | BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha |
Bagian | Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi |
Paragraf | Paragraf 11 Kesehatan, Obat, dan Makanan |
Judul | Pasal 63 |
Beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062) diubah: 1. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Industri farmasi tertentu dapat memproduksi narkotika setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Pemerintah Pusat melakukan pengendalian terhadap produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. (3) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai dengan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Perizinan Berusaha, pengendalian, dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Industri farmasi atau Perusahaan pedagang besar farmasi milik negara dapat melaksanakan impor narkotika setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Dalam keadaan tertentu, Pemerintah Pusat dapat memberi Perizinan Berusaha kepada perusahaan selain perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi Perizinan Berusaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Importir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Impor yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat untuk setiap kali melakukan impor Narkotika. (2) Surat Persetujuan Impor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil audit Pemerintah Pusat terhadap rencana kebutuhan dan realisasi produksi dan/atau penggunaan Narkotika. (3) Surat Persetujuan Impor Narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Surat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara pengekspor. 4. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 (1) Industri farmasi atau Perusahaan pedagang besar farmasi dapat melaksanakan ekspor narkotika setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Eksportir Narkotika harus memiliki Surat Persetujuan Ekspor yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat untuk setiap kali melakukan ekspor Narkotika. (2) Untuk memperoleh Surat Persetujuan Ekspor Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus melampirkan surat persetujuan yang diterbitkan oleh negara pengimpor. 6. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 (1) Setiap pengangkutan impor Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen atau surat persetujuan ekspor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengekspor dan Surat Persetujuan Impor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Setiap pengangkutan ekspor Narkotika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau Perizinan Berusaha terkait impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di negara pengimpor. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen atau surat persetujuan ekspor dan impor narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 (1) Eksportir Narkotika wajib memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor. (2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut. (3) Penanggung jawab pengangkut ekspor Narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan Surat Persetujuan Ekspor Narkotika yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dokumen atau Surat Persetujuan Impor Narkotika yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di negara pengimpor. 9. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 (1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. (2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |