Isi

<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>

Revisi Revisi 905[Daftar Isi]
Bab BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha
Bagian Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi
Paragraf Paragraf 10 Transportasi
Judul Pasal 58
  Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4956) diubah:

1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 13

(1) Pesawat udara, mesin pesawat udara, dan baling-baling
pesawat terbang yang akan dibuat untuk digunakan
secara sah (eligible) harus memiliki rancang bangun.

(2) Rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara,
dan baling-baling pesawat terbang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan
dari Pemerintah Pusat.

2. Ketentuan Pasal 14 dihapus.

3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 15

Pesawat udara, mesin pesawat udara, atau baling-baling
pesawat terbang yang dibuat berdasarkan rancang bangun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 untuk diproduksi
harus memiliki sertifikat tipe.

4. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 16

(1) Setiap pesawat udara, mesin pesawat udara, dan
baling-baling pesawat terbang yang dirancang dan
diproduksi di luar negeri dan diimpor ke Indonesia
harus mendapat sertifikat validasi tipe.

(2) Sertifikat validasi tipe sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perjanjian
antarnegara di bidang kelaikudaraan.


5. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 17

Setiap perubahan terhadap rancang bangun pesawat udara,
mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat terbang
yang telah mendapat sertifikat tipe sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 harus mendapat persetujuan dari
Pemerintah Pusat.

6. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 18

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
mendapatkan persetujuan rancang bangun, kegiatan
rancang bangun, dan perubahan rancang bangun pesawat
udara, sertifikat validasi tipe serta sertifikat tipe diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

7. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 19

(1) Setiap badan hukum Indonesia yang melakukan
kegiatan produksi dan/atau perakitan pesawat udara,
mesin pesawat udara, dan/atau baling-baling pesawat
terbang wajib memiliki sertifikat produksi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat produksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

8. Ketentuan Pasal 20 dihapus.

9. Ketentuan Pasal 21 dihapus.

10. Ketentuan Pasal 22 dihapus.


11. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 26

Pesawat udara yang telah didaftarkan dan memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25,
diterbitkan sertifikat pendaftaran.

12. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 30

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran dan tanda
kebangsaan Indonesia serta kriteria, jenis, besaran denda,
dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

13. Ketentuan Pasal 31 dihapus.

14. Ketentuan Pasal 32 dihapus.

15. Ketentuan Pasal 33 dihapus

16. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 37

Sertifikat kelaikudaraan standar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 terdiri atas:

a. sertifikat kelaikudaraan standar pertama (initial
airworthiness certificate) yang diberikan untuk pesawat
udara pertama kali dioperasikan oleh setiap orang; dan

b. sertifikat kelaikudaraan standar lanjutan (continous
airworthiness certificate) yang diberikan untuk pesawat
udara setelah sertifikat kelaikudaraan standar pertama
dan akan dioperasikan secara terus menerus.

17. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 40

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
untuk memperoleh sertifikat kelaikudaraan dan kriteria,
jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.


18. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 41

(1) Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara
untuk kegiatan angkutan udara wajib memiliki
sertifikat.

(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:

a. sertifikat operator pesawat udara (air operator
certificate), yang diberikan kepada badan hukum
Indonesia yang mengoperasikan pesawat udara sipil
untuk angkutan udara niaga; atau

b. sertifikat pengoperasian pesawat udara (operating
certificate), yang diberikan kepada orang atau badan
hukum Indonesia yang mengoperasikan pesawat
udara sipil untuk angkutan udara bukan niaga.

19. Ketentuan Pasal 42 dihapus

20. Ketentuan Pasal 43 dihapus.

21. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 45

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
memperoleh sertifikat operator pesawat udara atau sertifikat
pengoperasian pesawat udara dan kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

22. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 46

(1) Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara wajib
merawat pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-
baling pesawat terbang, dan komponennya untuk
mempertahankan keandalan dan kelaikudaraan secara
berkelanjutan.

(2) Dalam perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara,
baling-baling pesawat terbang, dan komponennya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap orang
harus membuat program perawatan pesawat udara
yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.


23. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 47

Perawatan pesawat udara, mesin pesawat udara, serta
baling-baling pesawat terbang dan komponennya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 hanya dapat
dilakukan oleh:

a. perusahaan angkutan udara yang telah memiliki
sertifikat operator pesawat udara;

b. badan hukum organisasi perawatan pesawat udara
yang telah memiliki sertifikat organisasi perawatan
pesawat udara (approved maintenance organization);
atau

c. personel ahli perawatan pesawat udara yang telah
memiliki lisensi ahli perawatan pesawat udara (aircraft
maintenance engineer license).

24. Ketentuan Pasal 48 dihapus.

25. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 49

Sertifikat organisasi perawatan pesawat udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 huruf b dapat diberikan kepada
organisasi perawatan pesawat udara di luar negeri yang
memenuhi persyaratan setelah memiliki sertifikat organisasi
perawatan pesawat udara yang diterbitkan oleh otoritas
penerbangan negara yang bersangkutan.

26. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 50

Setiap orang yang melanggar ketentuan perawatan pesawat
udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dikenai
sanksi administratif.

27. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 51

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur, dan
pemberian sertifikat organisasi perawatan pesawat udara
dan lisensi ahli perawatan pesawat udara dan kriteria, jenis,
besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.


28. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 58

(1) Setiap personel pesawat udara wajib memiliki lisensi
atau sertifikat kompetensi.

(2) Personel pesawat udara yang terkait langsung dengan
pelaksanaan pengoperasian pesawat udara wajib
memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.

29. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 60

Lisensi personel pesawat udara yang diberikan oleh negara
lain dapat diakui melalui proses pengesahan oleh
Pemerintah Pusat.

30. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 61

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan
prosedur memperoleh lisensi, atau sertifikat kompetensi dan
lembaga pendidikan dan/atau pelatihan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

31. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 63

(1) Pesawat udara yang dapat dioperasikan di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia hanya pesawat
udara Indonesia.

(2) Dalam keadaan tertentu dan dalam waktu terbatas
pesawat udara asing dapat dioperasikan setelah
mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.

(3) Pesawat udara sipil asing dapat dioperasikan oleh
perusahaan angkutan udara nasional untuk
penerbangan ke dan dari luar negeri setelah adanya
perjanjian antarnegara.

(4) Pesawat udara sipil asing yang akan dioperasikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus
memenuhi persyaratan kelaikudaraan yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.

(5) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
dikenai sanksi administratif.


(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian
pesawat udara sipil serta kriteria, jenis, besaran denda,
dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

32. Ketentuan Pasal 64 dihapus.

33. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 66

Ketentuan lebih lanjut mengenai proses dan biaya sertifikasi
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

34. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 67

(1) Setiap pesawat udara negara yang dibuat dan
dioperasikan harus memenuhi standar rancang
bangun, produksi, dan kelaikudaraan yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.

(2) Pesawat udara negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memiliki tanda identitas.

35. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 84

Angkutan udara niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan
oleh badan usaha angkutan udara nasional yang telah
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

36. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 85

(1) Angkutan udara niaga berjadwal dalam negeri hanya
dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan udara
nasional yang telah memenuhi Perizinan Berusaha
terkait angkutan udara niaga berjadwal.

(2) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam keadaan
tertentu dan bersifat sementara dapat melakukan
kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal setelah
mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat.

(3) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang
bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dapat dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah


dan/atau atas permintaan badan usaha angkutan
udara niaga nasional.

(4) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal yang
dilaksanakan oleh badan usaha angkutan udara niaga
berjadwal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menyebabkan terganggunya pelayanan pada rute yang
menjadi tanggung jawabnya dan pada rute yang masih
dilayani oleh badan usaha angkutan udara niaga
berjadwal lainnya.

37. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 91

(1) Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri
hanya dapat dilakukan oleh badan usaha angkutan
udara nasional yang telah memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.

(2) Angkutan udara niaga tidak berjadwal dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan persetujuan terbang (flight approval).

(3) Badan usaha angkutan udara niaga tidak berjadwal
dalam negeri dalam keadaan tertentu dan bersifat
sementara dapat melakukan kegiatan angkutan udara
niaga berjadwal setelah mendapat persetujuan dari
Pemerintah Pusat.

(4) Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal yang bersifat
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
dilakukan atas inisiatif instansi Pemerintah,
pemerintah daerah dan/atau badan usaha angkutan
udara niaga nasional.

(5) Kegiatan angkutan udara niaga berjadwal sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) tidak menyebabkan
terganggunya pelayanan angkutan udara pada rute
yang masih dilayani oleh badan usaha angkutan udara
niaga berjadwal lainnya.

38. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 93

(1) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar
negeri yang dilakukan oleh badan usaha angkutan
udara niaga nasional wajib mendapatkan persetujuan
terbang dari Pemerintah Pusat.

(2) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal luar
negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan


udara niaga asing wajib mendapatkan persetujuan
terbang dari Pemerintah Pusat.

39. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 94

(1) Kegiatan angkutan udara niaga tidak berjadwal oleh
perusahaan angkutan udara asing yang melayani rute
ke Indonesia dilarang mengangkut penumpang dari
wilayah Indonesia, kecuali penumpangnya sendiri yang
diturunkan pada penerbangan sebelumnya.

(2) Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal
asing yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

40. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 95

(1) Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal
asing khusus pengangkut kargo yang melayani rute ke
Indonesia dilarang mengangkut kargo dari wilayah
Indonesia, kecuali dengan persetujuan Pemerintah
Pusat.

(2) Perusahaan angkutan udara niaga tidak berjadwal
asing khusus pengangkut kargo yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi administratif.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

41. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 96

Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan udara niaga,
kerjasama angkutan udara dan sanksi administratif
termasuk prosedur dan tata cara pengenaan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

42. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 97


(1) Pelayanan yang diberikan badan usaha angkutan udara
niaga berjadwal dalam menjalankan kegiatannya dapat
dikelompokkan paling sedikit dalam:

a. pelayanan dengan standar maksimum;

b. pelayanan dengan standar menengah; atau

c. pelayanan dengan standar minimum.

(2) Badan usaha angkutan udara niaga berjadwal dalam
menyediakan pelayanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memberitahukan kepada pengguna jasa
tentang kondisi dan spesifikasi pelayanan yang
disediakan.

43. Ketentuan Pasal 99 dihapus.

44. Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 100

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan badan usaha
angkutan udara niaga berjadwal diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

45. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 109

Kegiatan angkutan udara niaga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 108 dilakukan oleh badan usaha di bidang
angkutan udara niaga nasional setelah memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.

46. Ketentuan Pasal 110 dihapus.

47. Ketentuan Pasal 111 dihapus.

48. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 112

Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109
berlaku selama pemegang Perizinan Berusaha masih
menjalankan kegiatan angkutan udara secara nyata dengan
terus menerus mengoperasikan pesawat udara sesuai
dengan Perizinan Berusaha yang diberikan.


49. Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 113

(1) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 109 dilarang dipindahtangankan kepada pihak
lain sebelum melakukan kegiatan usaha angkutan
udara secara nyata dengan mengoperasikan pesawat
udara sesuai dengan Perizinan Berusaha yang
diberikan.

(2) Pemegang Perizinan Berusaha yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan
Berusaha.

50. Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 114

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan
prosedur memperoleh Perizinan Berusaha terkait angkutan
udara niaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.

51. Ketentuan Pasal 118 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 118

(1) Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga
wajib:

a. melakukan kegiatan angkutan udara secara nyata
paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Perizinan
Berusaha diterbitkan dengan mengoperasikan
minimal jumlah pesawat udara yang dimiliki dan
dikuasai sesuai dengan lingkup usaha atau
kegiatannya;

b. memiliki dan menguasai pesawat udara dengan
jumlah tertentu;

c. mematuhi ketentuan wajib angkut, penerbangan
sipil, dan ketentuan lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;

d. menutup asuransi tanggung jawab pengangkut
dengan nilai pertanggungan sebesar santunan
penumpang angkutan udara niaga yang dibuktikan
dengan perjanjian penutupan asuransi;

e. melayani calon penumpang secara adil tanpa
diskriminasi atas dasar suku, agama, ras,
antargolongan, serta strata ekonomi dan sosial;


f. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara,
termasuk keterlambatan dan pembatalan
penerbangan, setiap jangka waktu tertentu kepada
Pemerintah Pusat;

g. menyerahkan laporan kinerja keuangan yang telah
diaudit oleh kantor akuntan publik terdaftar yang
sekurang-kurangnya memuat neraca, laporan rugi
laba, arus kas, dan rincian biaya, setiap tahun
paling lambat akhir bulan April tahun berikutnya
kepada Pemerintah Pusat;

h. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung
jawab atau pemilik badan usaha angkutan udara
niaga, domisili badan usaha angkutan udara niaga
dan pemilikan pesawat udara kepada Pemerintah
Pusat; dan

i. memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan.

(2) Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga
yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, pemerintah
daerah, badan usaha, dan lembaga tertentu diwajibkan:

a. mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12
(dua belas) bulan setelah izin kegiatan diterbitkan;

b. mematuhi peraturan perundang-undangan di
bidang penerbangan sipil dan peraturan perundang-
undangan lain yang berlaku;

c. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara
setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya kepada Pemerintah Pusat; dan

d. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung
jawab, kepemilikan pesawat udara, dan/atau
domisili kantor pusat kegiatan kepada Pemerintah
Pusat.

(3) Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga
yang dilakukan oleh orang perseorangan diwajibkan:

a. mengoperasikan pesawat udara paling lambat 12
(dua belas) bulan setelah izin diterbitkan;

b. mematuhi peraturan perundang-undangan di
bidang penerbangan sipil dan peraturan perundang-
undangan lain;

c. menyerahkan laporan kegiatan angkutan udara
setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh)
bulan berikutnya kepada Pemerintah Pusat; dan


d. melaporkan apabila terjadi perubahan penanggung
jawab, kepemilikan pesawat udara, dan/atau
domisili pemegang izin kepada Pemerintah Pusat.

52. Ketentuan Pasal 119 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 119

(1) Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga
dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan
niaga yang tidak melakukan kegiatan angkutan udara
secara nyata dengan mengoperasikan pesawat udara
selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf
a, ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a, Perizinan
Berusaha angkutan udara niaga atau izin kegiatan
angkutan udara bukan niaga yang diterbitkan tidak
berlaku dengan sendirinya.

(2) Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 118 ayat (1) huruf c dikenai sanksi
administratif.

(3) Pemegang Perizinan Berusaha angkutan udara niaga
dan pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan
niaga yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 118 dikenakan sanksi
administratif.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

53. Ketentuan Pasal 120 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 120

Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang
Perizinan Berusaha, persyaratan, dan sanksi administratif
termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

54. Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 130

Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan udara niaga
berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan angkutan udara
perintis serta sanksi administratif termasuk prosedur dan
tata cara pengenaan sanksi diatur dengan Peraturan
Pemerintah.


55. Ketentuan Pasal 131 dihapus.

56. Ketentuan Pasal 132 dihapus.

57. Ketentuan Pasal 133 dihapus.

58. Ketentuan Pasal 137 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 137

Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

59. Ketentuan Pasal 138 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 138

(1) Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau
pengirim yang menyerahkan barang khusus dan/atau
berbahaya wajib menyampaikan pemberitahuan kepada
pengelola pergudangan dan/atau badan usaha
angkutan udara sebelum dimuat ke dalam pesawat
udara.

(2) Badan usaha bandar udara, unit penyelenggara bandar
udara, badan usaha pergudangan, atau badan usaha
angkutan udara niaga yang melakukan kegiatan
pengangkutan barang khusus dan/atau barang
berbahaya wajib menyediakan tempat penyimpanan
atau penumpukan serta bertanggung jawab terhadap
penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang
khusus dan/atau berbahaya selama barang tersebut
belum dimuat ke dalam pesawat udara.

(3) Pemilik, agen ekspedisi muatan pesawat udara, atau
pengirim, badan usaha bandar udara, unit
penyelenggara bandar udara, badan usaha
pergudangan, atau badan usaha angkutan udara niaga
yang melanggar ketentuan pengangkutan barang
berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dikenakan sanksi administratif.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.


60. Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 139

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan barang
khusus dan barang berbahaya serta kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

61. Ketentuan Pasal 205 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 205

(1) Daerah lingkungan kepentingan bandar udara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 huruf g
merupakan daerah di luar lingkungan kerja bandar
udara yang digunakan untuk menjamin keselamatan
dan keamanan penerbangan, serta kelancaran
aksesibilitas penumpang dan kargo.

(2) Pemanfaatan daerah lingkungan kepentingan bandar
udara harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah
Pusat.

62. Ketentuan Pasal 215 dihapus.

63. Ketentuan Pasal 218 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 218

Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan
keamanan penerbangan, pelayanan jasa bandar udara, serta
tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat bandar
udara atau register bandar udara dan kriteria, jenis,
besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi
administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.

64. Ketentuan Pasal 219 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 219

(1) Setiap badan usaha bandar udara atau unit
penyelenggara bandar udara wajib menyediakan
fasilitas bandar udara yang memenuhi persyaratan
keselamatan dan keamanan penerbangan, serta
pelayanan jasa bandar udara sesuai dengan standar
pelayanan yang ditetapkan.

(2) Setiap badan usaha bandar udara atau unit
penyelenggara bandar udara yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
administratif.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

65. Ketentuan Pasal 221 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 221

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas
bandar udara serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata
cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

66. Ketentuan Pasal 222 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 222

(1) Setiap personel bandar udara wajib memiliki lisensi
atau sertifikat kompetensi.

(2) Sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan
yang diselenggarakan lembaga yang telah diakreditasi
oleh Pemerintah Pusat.

67. Ketentuan Pasal 224 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 224

Lisensi personel bandar udara yang diberikan oleh negara
lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau validasi
oleh Pemerintah Pusat.

68. Ketentuan Pasal 225 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 225

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan
prosedur memperoleh lisensi, lembaga pendidikan dan/atau
pelatihan, serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara
pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

69. Ketentuan Pasal 233 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 233

(1) Pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 232 ayat (2) dapat
diselenggarakan oleh:

a. badan usaha bandar udara untuk bandar udara
yang diusahakan secara komersial setelah


memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat; atau

b. unit penyelenggara bandar udara untuk bandar
udara yang belum diusahakan secara komersial
yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
sesuai kewenangan.

(2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) tidak dapat dipindah tangankan.

(3) Pelayanan jasa terkait bandar udara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 232 ayat (3) dapat
diselenggarakan oleh orang perseorangan warga negara
Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.

(4) Badan usaha bandar udara yang memindahtangankan
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dikenai sanksi administratif berupa pencabutan
Perizinan Berusahanya.

70. Ketentuan Pasal 237 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 237

Pemerintah Pusat mengembangkan usaha kebandarudaraan
melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang penanaman
modal.

71. Ketentuan Pasal 238 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 238

Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di
bandar udara, serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata
cara pengenaan sanksi administratif sanksi administratif
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

72. Ketentuan Pasal 242 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 242

Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas
kerugian serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara
pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan
Pemerintah.


73. Ketentuan Pasal 247 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 247

(1) Dalam rangka menunjang kegiatan tertentu, instansi
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau badan
hukum Indonesia dapat membangun bandar udara
khusus setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah
Pusat.

(2) Ketentuan keselamatan dan keamanan penerbangan
pada bandar udara khusus berlaku sebagaimana
ketentuan pada bandar udara.

74. Ketentuan Pasal 249 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 249

Bandar udara khusus dilarang melayani penerbangan
langsung dari dan/atau ke luar negeri kecuali dalam
keadaan tertentu dan bersifat sementara, setelah
memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat.

75. Ketentuan Pasal 250 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 250

Bandar udara khusus dilarang digunakan untuk
kepentingan umum kecuali dalam keadaan tertentu dengan
persetujuan dari Pemerintah Pusat.

76. Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 252

Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan pembangunan
dan pengoperasian bandar udara khusus, serta perubahan
status menjadi bandar udara yang dapat melayani
kepentingan umum diatur dengan Peraturan Pemerintah.

77. Ketentuan Pasal 253 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 253

Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport)
terdiri atas:

a. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di
daratan (surface level heliport);

b. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di atas
gedung (elevated heliport); dan


c. tempat pendaratan dan lepas landas helikopter di
perairan (helideck).

78. Ketentuan Pasal 254 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 254

(1) Setiap tempat pendaratan dan lepas landas helikopter
(heliport) yang dioperasikan wajib memenuhi ketentuan
keselamatan dan keamanan penerbangan.

(2) Tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport)
yang telah memenuhi ketentuan keselamatan
penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan tanda pendaftaran (register) oleh Pemerintah
Pusat.

79. Ketentuan Pasal 255 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 255

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pemberian persetujuan pembangunan dan pengoperasian
tempat pendaratan dan lepas landas helikopter (heliport)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

80. Ketentuan Pasal 275 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 275

(1) Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib
memiliki sertifikat pelayanan navigasi penerbangan yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
kepada masing-masing unit pelayanan penyelenggara
navigasi penerbangan.

(3) Unit pelayanan penyelenggara navigasi penerbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a. unit pelayanan navigasi penerbangan di bandar udara;

b. unit pelayanan navigasi pendekatan; dan

c. unit pelayanan navigasi penerbangan jelajah.’

81. Ketentuan Pasal 277 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 277

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur
pembentukan dan sertifikasi lembaga penyelenggara


pelayanan navigasi penerbangan, serta biaya pelayanan jasa
navigasi penerbangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

82. Ketentuan Pasal 292 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 292

(1) Setiap personel navigasi penerbangan wajib memiliki
lisensi atau sertifikat kompetensi.

(2) Personel navigasi penerbangan yang terkait langsung
dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau
pemeliharaan fasilitas navigasi penerbangan wajib
memiliki lisensi yang sah dan masih berlaku.

83. Ketentuan Pasal 294 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 294

Lisensi personel navigasi penerbangan yang diberikan oleh
negara lain dinyatakan sah melalui proses pengesahan atau
validasi oleh Pemerintah Pusat.

84. Ketentuan Pasal 295 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 295

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan
prosedur memperoleh lisensi, dan kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

85. Ketentuan Pasal 317 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 317

Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem manajemen
keselamatan penyedia jasa penerbangan, dan kriteria, jenis,
besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
diatur diatur dengan Peraturan Pemerintah.

86. Ketentuan Pasal 389 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 389

Setiap personel di bidang penerbangan yang telah memiliki
sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal

388 dapat diberi lisensi oleh Pemerintah Pusat setelah
memenuhi persyaratan.


87. Ketentuan Pasal 392 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 392

Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikat kompetensi dan
lisensi serta penyusunan program pelatihan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

88. Ketentuan Pasal 418 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 418

Setiap orang yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga
tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga
ratus lima puluh juta rupiah).

89. Ketentuan Pasal 423 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 423

(1) Personel bandar udara yang mengoperasikan dan/atau
memelihara fasilitas bandar udara tanpa memiliki lisensi
atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 222 yang mengakibatkan timbulnya korban,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

90. Ketentuan Pasal 428 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 428

(1) Setiap orang yang mengoperasikan bandar udara khusus
yang digunakan untuk kepentingan umum tanpa
Persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 250 yang mengakibatkan timbulnya korban,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
atau denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).