Isi

<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>

Revisi Revisi 905[Daftar Isi]
Bab BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha
Bagian Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi
Paragraf Paragraf 10 Transportasi
Judul Pasal 57
  Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4849) diubah:

1. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 5

(1) Pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya
dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

(2) Pembinaan Pelayaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:

a. pengaturan;

b. pengendalian; dan

c. pengawasan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Pelayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b,
dan huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah.


2. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 9

(1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri disusun dan
dilaksanakan secara terpadu, baik intra maupun
antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem
transportasi nasional.

(2) Kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan trayek
tetap dan teratur (liner) serta dapat dilengkapi dengan
trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper).

(3) Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani
trayek tetap dan teratur dilakukan dalam jaringan
trayek.

(4) Jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.

(5) Pengoperasian kapal pada trayek tidak tetap dan tidak
teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh perusahaan angkutan laut nasional dan wajib
dilaporkan kepada Pemerintah Pusat.

3. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 13

(1) Kegiatan angkutan laut khusus dilakukan oleh Badan
Usaha untuk menunjang usaha pokok untuk
kepentingan sendiri dengan menggunakan kapal
berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan
kelaiklautan kapal dan diawaki oleh Awak Kapal
berkewarganegaraan Indonesia.

(2) Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.

4. Diantara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14A

(1) Sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia,
Kapal Asing dapat melakukan kegiatan khusus di
wilayah perairan Indonesia yang tidak termasuk
kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang.


(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan khusus yang
dilakukan oleh kapal asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

5. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 27

Untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan, orang
perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha
wajib memenuhi Perizinan Berusaha.

6. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 28

(1) Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan
Berusaha untuk angkutan laut diberikan oleh:

a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi Badan
Usaha yang berdomisili dalam wilayah
kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas
pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota;

b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi Badan
Usaha yang berdomisili dalam wilayah provinsi dan
beroperasi pada lintas pelabuhan
antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau

c. Pemerintah Pusat bagi Badan Usaha yang
melakukan kegiatan pada lintas pelabuhan
antarprovinsi dan internasional.

(2) Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan
Berusaha untuk angkutan laut pelayaran-rakyat
diberikan oleh:

a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi orang
perseorangan warga negara Indonesia atau Badan
Usaha yang berdomisili dalam wilayah
kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas
pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota; atau

b. gubernur yang bersangkutan bagi orang
perseorangan warga negara Indonesia atau Badan
Usaha yang berdomisili dan beroperasi pada lintas
pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah
provinsi, pelabuhan antarprovinsi, dan pelabuhan
internasional.


(3) Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan
Usaha untuk angkutan sungai dan danau diberikan
oleh:

a. bupati/walikota sesuai dengan domisili orang
perseorangan warga negara Indonesia atau Badan
Usaha; atau

b. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
untuk orang perseorangan warga negara Indonesia
atau Badan Usaha yang berdomisili di Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.

(4) Selain memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) untuk angkutan sungai dan
danau kapal yang dioperasikan wajib memenuhi
Perizinan Berusaha untuk trayek yang diberikan oleh:

a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi kapal yang
melayani trayek dalam wilayah kabupaten/kota;

b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal
yang melayani trayek antarkabupaten/kota dalam
wilayah provinsi; atau

c. Pemerintah Pusat bagi kapal yang melayani trayek
antarprovinsi dan/atau antarnegara,

berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(5) Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan
Berusaha untuk angkutan penyeberangan diberikan
oleh:

a. bupati/walikota sesuai dengan domisili Badan
Usaha; atau

b. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
untuk Badan Usaha yang berdomisili di Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.

(6) Selain memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) untuk angkutan
penyeberangan, kapal yang dioperasikan wajib
memenuhi Perizinan Berusaha untuk persetujuan
pengoperasian kapal yang diberikan oleh:

a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi kapal yang
melayani lintas pelabuhan dalam wilayah
kabupaten/kota;


b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal
yang melayani lintas pelabuhan
antarkabupaten/kota dalam provinsi; dan

c. Pemerintah Pusat bagi kapal yang melayani lintas
pelabuhan antarprovinsi dan/atau antarnegara,
berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

7. Ketentuan Pasal 30 dihapus.

8. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 31

(1) Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat
diselenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di
perairan.

(2) Usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. bongkar muat barang;

b. jasa pengurusan transportasi;

c. angkutan perairan pelabuhan;

d. penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan
jasa terkait dengan angkutan laut;

e. tally mandiri;

f. depo peti kemas;

g. pengelolaan kapal (ship management);

h. perantara jual beli dan/atau sewa kapal;

i. keagenan Awak Kapal (ship manning agency);

j. keagenan kapal; dan

k. perawatan dan perbaikan kapal (ship repairing and
maintenance).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha jasa terkait
dengan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.


9. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 32

(1) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan khusus
untuk penyelenggaraan usaha jasa terkait dengan
angkutan di perairan.

(2) Ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha jasa
terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang
penanaman modal.

(3) Selain Badan Usaha yang didirikan khusus untuk itu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kegiatan
angkutan perairan pelabuhan dapat dilakukan oleh
perusahaan angkutan laut nasional.

10. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 33

Badan Usaha yang didirikan khusus untuk usaha jasa
terkait dengan angkutan di perairan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), wajib memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan norma, standar,
prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.

11. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 34

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan
Perizinan Berusaha jasa terkait dengan angkutan di
perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

12. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 51

(1) Angkutan multimoda dilakukan oleh Badan Usaha
yang telah memenuhi Perizinan Berusaha untuk
melakukan angkutan multimoda dari Pemerintah
Pusat.


(2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab terhadap barang sejak diterimanya
barang sampai diserahkan kepada penerima barang.

13. Ketentuan Pasal 52 diubah sehinga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 52

(1) Pelaksanaan angkutan multimoda dilakukan
berdasarkan dokumen yang diterbitkan oleh penyedia
jasa angkutan multimoda.

(2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa dokumen elektronik.

14. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 59

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal
11 ayat (4), Pasal 13 ayat (2), Pasal 19 ayat (2), Pasal
27, Pasal 28 ayat (4) atau ayat (6), Pasal 33, Pasal 38
ayat (1), Pasal 41 ayat (3), Pasal 42 ayat (1), Pasal 46,
Pasal 47, atau Pasal 54 dikenai sanksi administratif.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

15. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 90

(1) Kegiatan pengusahaan di pelabuhan terdiri atas
penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan
dan jasa terkait dengan kepelabuhanan.

(2) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal,
penumpang, dan barang.

(3) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal,
penumpang, dan barang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) terdiri atas:

a. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga
untuk bertambat;


b. penyediaan dan/atau pelayanan pengisian bahan
bakar dan pelayanan air bersih;

c. penyediaan dan/atau pelayanan fasilitas naik
turun penumpang dan/atau kendaraan;

d. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga
untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang
dan peti kemas;

e. penyediaan dan/atau pelayanan jasa gudang dan
tempat penimbunan barang, alat bongkar muat,
serta peralatan pelabuhan;

f. penyediaan dan/atau pelayanan jasa terminal peti
kemas, curah cair, curah kering, dan Ro-Ro;

g. penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat
barang;

h. penyediaan dan/atau pelayanan pusat distribusi
dan konsolidasi barang; dan/atau

i. penyediaan dan/atau pelayanan jasa penundaan
kapal.

(4) Kegiatan jasa terkait dengan kepelabuhanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan
yang menunjang kelancaran operasional dan
memberikan nilai tambah bagi pelabuhan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan
di pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

16. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 91

(1) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa
kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
ayat (1) pada pelabuhan yang diusahakan secara
komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan
setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya
berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(2) Kegiatan pengusahaan yang dilakukan oleh Badan
Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan untuk lebih dari satu terminal.

(3) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa
kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
ayat (1) pada pelabuhan yang belum diusahakan secara


komersial dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara
Pelabuhan.

(4) Dalam keadaan tertentu, terminal dan fasilitas
pelabuhan lainnya pada pelabuhan yang diusahakan
Unit Penyelenggara Pelabuhan dapat dilaksanakan oleh
Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan perjanjian.

(5) Kegiatan jasa terkait dengan kepelabuhanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dapat
dilakukan oleh orang perseorangan warga negara
Indonesia dan/atau Badan Usaha.

17. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 96

(1) Pembangunan pelabuhan laut wajib memenuhi
Perizinan Berusaha dari:

a. Pemerintah Pusat untuk pelabuhan utama dan
pelabuhan pengumpul; dan

b. gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan
pengumpan,

berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(2) Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan laut yang
dilaksanakan oleh instansi pemerintah, harus
mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.

18. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 97

(1) Pelabuhan laut hanya dapat dioperasikan setelah
selesai dibangun dan memenuhi persyaratan
operasional serta wajib memenuhi Perizinan Berusaha.

(2) Perizinan Berusaha terkait pengoperasian pelabuhan
laut diberikan oleh:

a. Pemerintah Pusat untuk pelabuhan utama dan
pelabuhan pengumpul; dan

b. gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan
pengumpan;

sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.


19. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 98

(1) Pembangunan pelabuhan sungai dan danau wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari bupati/walikota
sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(2) Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan sungai
dan danau yang dilakukan oleh instansi pemerintah,
harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah
Pusat.

(3) Perizinan Berusaha untuk mengoperasikan pelabuhan
sungai dan danau diberikan oleh bupati/walikota
sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

20. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 99

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis kegiatan
pengusahaan di pelabuhan, serta Perizinan Berusaha terkait
pembangunan dan pengoperasian pelabuhan diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

21. Ketentuan Pasal 103 dihapus.

22. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 104

(1) Terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal

102 ayat (1) hanya dapat dibangun dan dioperasikan
dalam hal:

a. pelabuhan terdekat tidak dapat menampung
kegiatan pokok tersebut; atau

b. berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis
operasional akan lebih efektif dan efisien serta lebih
menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran
apabila membangun dan mengoperasikan terminal
khusus.

(2) Untuk membangun dan mengoperasikan terminal
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.


23. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 106

Terminal khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai
dengan Perizinan Berusaha yang telah diberikan dapat
diserahkan kepada Pemerintah Pusat atau dikembalikan
seperti keadaan semula atau diusulkan untuk perubahan
status menjadi terminal khusus untuk menunjang usaha
pokok yang lain atau menjadi pelabuhan.

24. Ketentuan Pasal 107 dihapus.

25. Ketentuan Pasal 111 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 111

(1) Kegiatan pelabuhan untuk menunjang kelancaran
perdagangan yang terbuka bagi perdagangan luar
negeri dilakukan oleh pelabuhan utama.

(2) Penetapan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan:

a. pertumbuhan dan pengembangan ekonomi
nasional;

b. kepentingan perdagangan internasional;

c. kepentingan pengembangan kemampuan angkutan
laut nasional;

d. posisi geografis yang terletak pada lintasan
pelayaran internasional;

e. Tatanan Kepelabuhanan Nasional;

f. fasilitas pelabuhan;

g. keamanan dan kedaulatan negara; dan

h. kepentingan nasional lainnya.

(3) Terminal khusus tertentu dapat digunakan untuk
melakukan kegiatan perdagangan luar negeri.

(4) Terminal khusus tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib memenuhi persyaratan:

a. aspek administrasi;

b. aspek ekonomi;

c. aspek keselamatan dan keamanan pelayaran;

d. aspek teknis fasilitas kepelabuhanan;


e. fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi
instansi pemegang fungsi keselamatan dan
keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi,
dan Karantina; dan

f. jenis komoditas khusus.

(5) Pelabuhan dan terminal khusus yang terbuka bagi
perdagangan luar negeri ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.

26. Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 124

Setiap pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan kapal
termasuk perlengkapannya serta pengoperasian kapal di
perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan
keselamatan kapal yang sesuai dengan ketentuan standar
internasional.

27. Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 125

(1) Sebelum pembangunan dan pengerjaan kapal termasuk
perlengkapannya, pemilik atau galangan kapal wajib
membuat perhitungan dan gambar rancang bangun
serta data kelengkapannya.

(2) Pembangunan atau pengerjaan kapal yang merupakan
perombakan harus sesuai dengan gambar rancang
bangun dan data yang telah memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.

(3) Pengawasan terhadap pembangunan dan pengerjaan
perombakan kapal dilakukan oleh Pemerintah Pusat.

28. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 126

(1) Kapal yang dinyatakan memenuhi persyaratan
keselamatan kapal diberi sertifikat keselamatan oleh
Pemerintah Pusat.

(2) Sertifikat keselamatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:

a. sertifikat keselamatan kapal penumpang;


b. sertifikat keselamatan kapal barang; dan

c. sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal
penangkap ikan.

29. Ketentuan Pasal 127 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 127

(1) Sertifikat kapal tidak berlaku apabila:

a. masa berlaku sudah berakhir;

b. tidak melaksanakan pengukuhan sertifikat

(endorsement);

c. kapal rusak dan dinyatakan tidak memenuhi
persyaratan keselamatan kapal;

d. kapal berubah nama;

e. kapal berganti bendera;

f. kapal tidak sesuai lagi dengan data-data teknis
dalam sertifikat keselamatan kapal;

g. kapal mengalami perombakan yang mengakibatkan
perubahan konstruksi kapal, perubahan ukuran
utama kapal, perubahan fungsi atau jenis kapal;

h. kapal tenggelam atau hilang; atau

i. kapal ditutuh (scrapping).

(2) Sertifikat kapal dibatalkan apabila:

a. keterangan dalam dokumen kapal yang digunakan
untuk penerbitan sertifikat ternyata

b. tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya;

c. kapal sudah tidak memenuhi persyaratan
keselamatan kapal; atau

d. sertifikat diperoleh secara tidak sah.

(3) Persyaratan sertifikat kapal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disesuaikan
berdasarkan ketentuan standar internasional.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembatalan
sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.


30. Ketentuan Pasal 129 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 129

(1) Kapal berdasarkan jenis dan ukuran tertentu wajib
diklasifikasikan pada badan klasifikasi untuk
keperluan persyaratan keselamatan kapal.

(2) Badan klasifikasi nasional atau badan klasifikasi asing
yang diakui dapat ditunjuk melaksanakan pemeriksaan
dan pengujian terhadap kapal untuk memenuhi
persyaratan keselamatan kapal.

(3) Pengakuan dan penunjukan badan klasifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
Pemerintah Pusat.

(4) Badan klasifikasi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib melaporkan kegiatannya kepada
Pemerintah Pusat.

31. Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 130

(1) Setiap kapal yang memperoleh sertifikat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) wajib dipelihara
sehingga tetap memenuhi persyaratan keselamatan
kapal.

(2) Dalam keadaan tertentu Pemerintah Pusat dapat
memberikan pembebasan sebagian persyaratan yang
ditetapkan dengan tetap memperhatikan keselamatan
kapal

(3) Pemeliharaan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilakukan secara berkala dan sewaktu-waktu.

32. Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 133

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan
gambar dan pembangunan kapal serta pemeriksaan dan
sertifikasi keselamatan kapal diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

33. Penjelasan Pasal 154 diubah sehingga berbunyi
sebagaimana dalam Penjelasan.


34. Ketentuan Pasal 155 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 155

(1) Setiap kapal sebelum dioperasikan wajib dilakukan
pengukuran oleh pejabat pemerintah yang diberi
wewenang oleh Pemerintah Pusat.

(2) Pengukuran kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan menurut 3 (tiga) metode, yaitu:

a. pengukuran dalam negeri untuk kapal yang
berukuran panjang kurang dari 24 (dua puluh
empat) meter;

b. pengukuran internasional untuk kapal yang
berukuran panjang 24 (dua puluh empat) meter
atau lebih; dan

c. pengukuran khusus untuk kapal yang akan melalui
terusan tertentu.

(3) Berdasarkan pengukuran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterbitkan Surat Ukur untuk kapal dengan
ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7 (tujuh
Gross Tonnage).

(4) Surat Ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dapat
dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk.

35. Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 157

(1) Pemilik, operator kapal, atau Nakhoda melaporkan
kepada Pemerintah Pusat dalam hal terjadi
perombakan kapal yang menyebabkan perubahan data
yang ada dalam Surat Ukur.

(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara elektronik.

36. Ketentuan Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 158

(1) Kapal yang telah diukur dan mendapat Surat Ukur
dapat didaftarkan di Indonesia oleh pemilik kepada
Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.


(2) Kapal yang dapat didaftar di Indonesia yaitu:

a. kapal dengan ukuran tonase kotor
sekurangkurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage);
dan

b. kapal milik warga negara Indonesia atau badan
hukum yang didirikan berdasarkan hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; dan

c. kapal milik badan hukum Indonesia yang
merupakan usaha patungan yang mayoritas
sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.

(3) Pendaftaran kapal dilakukan dengan pembuatan akta
pendaftaran dan dicatat dalam daftar kapal Indonesia.

(4) Sebagai bukti kapal telah terdaftar, kepada pemilik
diberikan grosse akta pendaftaran kapal yang berfungsi
pula sebagai bukti hak milik atas kapal yang telah
didaftar.

(5) Pada kapal yang telah didaftar wajib dipasang Tanda
Pendaftaran.

37. Ketentuan Pasal 159 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 159

(1) Pendaftaran kapal dilakukan di tempat yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.

(2) Pemilik kapal bebas memilih salah satu tempat
pendaftaran kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
untuk mendaftarkan kapalnya.

38. Ketentuan asal 163 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 163

(1) Kapal yang didaftar di Indonesia dan berlayar di laut
diberikan Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia
oleh Pemerintah Pusat.

(2) Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:

a. Surat Laut untuk kapal berukuran GT 175 (seratus
tujuh puluh lima Gross Tonnage) atau lebih;

b. Pas Besar untuk kapal berukuran GT 7 (tujuh
Gross Tonnage) sampai dengan ukuran kurang dari


GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage);
atau

c. Pas Kecil untuk kapal berukuran kurang dari GT 7
(tujuh Gross Tonnage).

(3) Kapal yang hanya berlayar di perairan sungai dan
danau diberikan pas sungai dan danau.

39. Ketentuan Pasal 168 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 168

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengukuran dan
penerbitan surat ukur, tata cara, persyaratan, dan
dokumentasi pendaftaran kapal, serta tata cara dan
persyaratan penerbitan Surat Tanda Kebangsaan Kapal
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

40. Ketentuan Pasal 169 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 169

(1) Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal
untuk jenis dan ukuran tertentu harus memenuhi
persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan
pencemaran dari kapal.

(2) Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen
keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat.

(3) Sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan
pencemaran dari kapal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berupa Dokumen Penyesuaian Manajemen
Keselamatan (Document of Compliance) untuk
perusahaan dan Sertifikat Manajemen Keselamatan
(Safety Management Certificate) untuk kapal.

(4) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh
pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau
lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah
Pusat.

(5) Sertifikat Manajemen Keselamatan dan Pencegahan
Pencemaran diterbitkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh
Pemerintah Pusat.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan
penerbitan sertifikat manajemen keselamatan dan


pencegahan pencemaran diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

41. Ketentuan Pasal 170 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 170

(1) Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal
untuk ukuran tertentu harus memenuhi persyaratan
manajemen keamanan kapal.

(2) Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen
keamanan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberi sertifikat.

(3) Sertifikat Manajemen Keamanan Kapal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berupa Sertifikat Keamanan
Kapal Internasional (International Ship Security
Certificate).

(4) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh
pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau
lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah
Pusat.

(5) Sertifikat Manajemen Keamanan Kapal diterbitkan oleh
pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Pemerintah
Pusat.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan
penerbitan sertifikat manajemen keamanan kapal
diatur dengan Peraturan Pemerintah

42. Ketentuan Pasal 171 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 171

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1), Pasal 97 ayat (1),
Pasal 98 ayat (1), Pasal 100 ayat (3), Pasal 104 ayat (2),
Pasal 106, Pasal 125 ayat (1), Pasal 130 ayat (1), 131
ayat (2), Pasal 132 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 135,
Pasal 137 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 138 ayat (1) atau
ayat (2), Pasal 141 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 149 ayat
(1), Pasal 152 ayat (1), Pasal 156 ayat (1), Pasal 158
ayat (5), Pasal 160 ayat (1), Pasal 162 ayat (1), atau
Pasal 165 ayat (1) dikenai sanksi administratif.

(2) Pejabat pemerintah yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dikenai sanksi


administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang kepegawaian.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

43. Ketentuan Pasal 197 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 197

(1) Untuk kepentingan keselamatan dan keamanan
pelayaran, desain dan pekerjaan pengerukan alur-
pelayaran dan kolam pelabuhan, serta reklamasi wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya
berdasarkan norma, standar, prosedur, kriteria.

(2) Pekerjaan pengerukan alur-pelayaran dan kolam
pelabuhan serta reklamasi dilakukan oleh perusahaan
yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dan
dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh
instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai desain dan pekerjaan
pengerukan alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan
reklamasi serta sertifikasi pelaksana pekerjaan diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

44. Ketentuan Pasal 204 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 204

(1) Kegiatan salvage dilakukan terhadap kerangka kapal
dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau
tenggelam.

(2) Setiap kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

45. Ketentuan Pasal 213 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 213

(1) Pemilik, Operator Kapal, atau Nakhoda wajib
memberitahukan kedatangan kapalnya di pelabuhan
kepada Syahbandar.


(2) Setiap kapal yang memasuki pelabuhan wajib
menyerahkan surat, dokumen, dan warta Kapal kepada
Syahbandar seketika pada saat kapal tiba di pelabuhan
dan/atau menyampaikan secara elektronik sebelum
kapal tiba untuk dilakukan pemeriksaan.

(3) Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) surat, dokumen, dan warta kapal
disimpan oleh Syahbandar untuk diserahkan kembali
bersamaan dengan diterbitkannya Surat Persetujuan
Berlayar.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemberitahuan kedatangan kapal, pemeriksaan,
penyerahan, serta penyimpanan surat, dokumen, dan
warta kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

46. Ketentuan Pasal 225 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 225

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1), Pasal 204 ayat (2),
Pasal 213 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 214, Pasal 215,
atau Pasal 216 ayat (1) dikenai sanksi administratif.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

47. Ketentuan Pasal 243 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 243

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2), Pasal 233 ayat (3),
Pasal 234, Pasal 235, atau Pasal 239 ayat (2) dikenai
sanksi administratif.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.


48. Ketentuan Pasal 273 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 273

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 272 ayat (1) dapat dikenakan
sanksi administratif.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

49. Ketentuan Pasal 288 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 288

Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan
sungai dan danau tanpa memenuhi Perizinan Berusaha
untuk trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat

(4) yang menimbulkan kecelakaan kapal, korban manusia,
atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

50. Ketentuan Pasal 289 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 289

Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan
penyeberangan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha terkait
persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 ayat (6) yang menimbulkan kecelakaan
kapal, korban manusia, atau kerugian harta benda,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).

51. Ketentuan Pasal 290 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 290

Setiap orang yang menyelenggarakan usaha jasa terkait
dengan angkutan di perairan tanpa memenuhi Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 yang
menimbulkan korban manusia atau kerugian harta benda,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun


atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).

52. Ketentuan Pasal 291 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 291

Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk
mengangkut penumpang dan/atau barang terutama
angkutan pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat

(1) yang mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah).

53. Ketentuan Pasal 292 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 292

Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung
jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3)
yang mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan
dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

54. Ketentuan Pasal 293 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 293

Setiap orang yang tidak memberikan fasilitas khusus dan
kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)
yang menimbulkan kecelakaan dan/atau korban manusia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan
dan denda paling banyak paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).

55. Ketentuan Pasal 294 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 294

(1) Setiap orang yang mengangkut barang khusus dan
barang berbahaya tidak sesuai dengan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang
mengakibatkan timbulnya korban manusia atau
kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan,


keamanan, dan lingkungan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).

(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta
benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
rupiah).

56. Ketentuan Pasal 295 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 295

Setiap orang yang mengangkut barang berbahaya dan
barang khusus yang tidak menyampaikan pemberitahuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 yang
mengakibatkan timbulnya korban, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

57. Ketentuan Pasal 296 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 296

Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung
jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang
mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain, dipidana
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
pidana denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah).

58. Ketentuan Pasal 297 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 297

(1) Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan
pelabuhan sungai dan danau yang tidak memenuhi
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 98 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya
korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, keamanan,


dan lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(2) Setiap orang yang memanfaatkan garis pantai untuk
melakukan kegiatan tambat kapal dan bongkar muat
barang atau menaikkan dan menurunkan penumpang
untuk kepentingan sendiri di luar kegiatan di
pelabuhan, terminal khusus dan terminal untuk
kepentingan sendiri tanpa memenuhi Perizinan
Berusaha atau Persetujuan dari Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).

59. Ketentuan Pasal 298 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 298

Setiap orang yang tidak memberikan jaminan atas
pelaksanaan tanggung jawab ganti rugi dalam
melaksanakan kegiatan di pelabuhan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3) yang mengakibatkan
timbulnya korban, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

60. Ketentuan Pasal 299 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 299

Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan
terminal khusus tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104
ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan
kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah).

61. Ketentuan Pasal 307 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 307

Setiap orang yang mengoperasikan kapal tanpa dilengkapi
dengan perangkat komunikasi radio dan kelengkapannya


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) yang
mengakibatkan timbulnya kecelakaan kapal, korban
manusia, atau kerugian barang dan harta benda, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

62. Ketentuan Pasal 308 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 308

Setiap orang yang mengoperasikan kapal tidak dilengkapi
dengan peralatan meteorologi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 132 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya
kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian barang
dan harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

63. Ketentuan Pasal 310 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 310

Setiap orang yang mempekerjakan Awak Kapal tanpa
memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 135 yang
mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian harta
benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).

64. Ketentuan Pasal 313 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 313

Setiap orang yang menggunakan peti kemas sebagai bagian
dari alat angkut tanpa memenuhi persyaratan kelaikan peti
kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1)
yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian harta
benda, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2
(dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).

65. Ketentuan Pasal 314 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 314

Setiap orang yang tidak memasang tanda pendaftaran pada
kapal yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 158 ayat (5) yang mengakibatkan timbulnya korban
atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

66. Ketentuan Pasal 321 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 321

Pemilik kapal yang tidak menyingkirkan kerangka kapal
dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan
keamanan pelayaran dalam batas waktu yang ditetapkan
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1)
yang mengakibatkan timbulnya korban/kecelakaan kapal,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah).

67. Ketentuan Pasal 322 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 322

Nakhoda yang melakukan kegiatan perbaikan, percobaan
berlayar, kegiatan alih muat di kolam pelabuhan, menunda,
dan bongkar muat barang berbahaya tanpa persetujuan dari
Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 ayat

(1) yang mengakibatkan timbulnya korban atau terjadinya
kecelakaan kapal, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

68. Ketentuan Pasal 336 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 336

(1) Setiap pejabat yang melanggar suatu kewajiban khusus
dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak
pidana melakukan kekuasaan, kesempatan atau
sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah)

(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa
pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya.


(3) Setiap pejabat yang karena melaksanakan tugas sesuai
jabatan dan kewenangannya menyebabkan kerugian
harta benda dan/atau hilangnya nyawa seseorang
diluar kekuasaannya, tidak dapat dikenai sanksi.