<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>
Revisi | Revisi 905[Daftar Isi] |
Bab | BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha |
Bagian | Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi |
Paragraf | Paragraf 10 Transportasi |
Judul | Pasal 57 |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849) diubah: 1. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (2) Pembinaan Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengaturan; b. pengendalian; dan c. pengawasan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9 (1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri disusun dan dilaksanakan secara terpadu, baik intra maupun antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional. (2) Kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan trayek tetap dan teratur (liner) serta dapat dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper). (3) Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani trayek tetap dan teratur dilakukan dalam jaringan trayek. (4) Jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (5) Pengoperasian kapal pada trayek tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan wajib dilaporkan kepada Pemerintah Pusat. 3. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Kegiatan angkutan laut khusus dilakukan oleh Badan Usaha untuk menunjang usaha pokok untuk kepentingan sendiri dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia. (2) Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 4. Diantara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14A (1) Sepanjang kapal berbendera Indonesia belum tersedia, Kapal Asing dapat melakukan kegiatan khusus di wilayah perairan Indonesia yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan khusus yang dilakukan oleh kapal asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 Untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan, orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha wajib memenuhi Perizinan Berusaha. 6. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (1) Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan Berusaha untuk angkutan laut diberikan oleh: a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi Badan Usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota; b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi Badan Usaha yang berdomisili dalam wilayah provinsi dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau c. Pemerintah Pusat bagi Badan Usaha yang melakukan kegiatan pada lintas pelabuhan antarprovinsi dan internasional. (2) Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan Berusaha untuk angkutan laut pelayaran-rakyat diberikan oleh: a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota; atau b. gubernur yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi, pelabuhan antarprovinsi, dan pelabuhan internasional. (3) Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan Usaha untuk angkutan sungai dan danau diberikan oleh: a. bupati/walikota sesuai dengan domisili orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha; atau b. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (4) Selain memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk angkutan sungai dan danau kapal yang dioperasikan wajib memenuhi Perizinan Berusaha untuk trayek yang diberikan oleh: a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi kapal yang melayani trayek dalam wilayah kabupaten/kota; b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal yang melayani trayek antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau c. Pemerintah Pusat bagi kapal yang melayani trayek antarprovinsi dan/atau antarnegara, berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (5) Berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, Perizinan Berusaha untuk angkutan penyeberangan diberikan oleh: a. bupati/walikota sesuai dengan domisili Badan Usaha; atau b. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk Badan Usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (6) Selain memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk angkutan penyeberangan, kapal yang dioperasikan wajib memenuhi Perizinan Berusaha untuk persetujuan pengoperasian kapal yang diberikan oleh: a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota; b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam provinsi; dan c. Pemerintah Pusat bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan antarprovinsi dan/atau antarnegara, berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (7) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 30 dihapus. 8. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 (1) Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat diselenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan. (2) Usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. bongkar muat barang; b. jasa pengurusan transportasi; c. angkutan perairan pelabuhan; d. penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut; e. tally mandiri; f. depo peti kemas; g. pengelolaan kapal (ship management); h. perantara jual beli dan/atau sewa kapal; i. keagenan Awak Kapal (ship manning agency); j. keagenan kapal; dan k. perawatan dan perbaikan kapal (ship repairing and maintenance). (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan oleh Badan Usaha yang didirikan khusus untuk penyelenggaraan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan. (2) Ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. (3) Selain Badan Usaha yang didirikan khusus untuk itu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kegiatan angkutan perairan pelabuhan dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional. 10. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 Badan Usaha yang didirikan khusus untuk usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 11. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan Perizinan Berusaha jasa terkait dengan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51 (1) Angkutan multimoda dilakukan oleh Badan Usaha yang telah memenuhi Perizinan Berusaha untuk melakukan angkutan multimoda dari Pemerintah Pusat. (2) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab terhadap barang sejak diterimanya barang sampai diserahkan kepada penerima barang. 13. Ketentuan Pasal 52 diubah sehinga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 (1) Pelaksanaan angkutan multimoda dilakukan berdasarkan dokumen yang diterbitkan oleh penyedia jasa angkutan multimoda. (2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dokumen elektronik. 14. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 11 ayat (4), Pasal 13 ayat (2), Pasal 19 ayat (2), Pasal 27, Pasal 28 ayat (4) atau ayat (6), Pasal 33, Pasal 38 ayat (1), Pasal 41 ayat (3), Pasal 42 ayat (1), Pasal 46, Pasal 47, atau Pasal 54 dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90 (1) Kegiatan pengusahaan di pelabuhan terdiri atas penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan dan jasa terkait dengan kepelabuhanan. (2) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang. (3) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk bertambat; b. penyediaan dan/atau pelayanan pengisian bahan bakar dan pelayanan air bersih; c. penyediaan dan/atau pelayanan fasilitas naik turun penumpang dan/atau kendaraan; d. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dan peti kemas; e. penyediaan dan/atau pelayanan jasa gudang dan tempat penimbunan barang, alat bongkar muat, serta peralatan pelabuhan; f. penyediaan dan/atau pelayanan jasa terminal peti kemas, curah cair, curah kering, dan Ro-Ro; g. penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang; h. penyediaan dan/atau pelayanan pusat distribusi dan konsolidasi barang; dan/atau i. penyediaan dan/atau pelayanan jasa penundaan kapal. (4) Kegiatan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan yang menunjang kelancaran operasional dan memberikan nilai tambah bagi pelabuhan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 16. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91 (1) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Kegiatan pengusahaan yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk lebih dari satu terminal. (3) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan. (4) Dalam keadaan tertentu, terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya pada pelabuhan yang diusahakan Unit Penyelenggara Pelabuhan dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan perjanjian. (5) Kegiatan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dapat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau Badan Usaha. 17. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96 (1) Pembangunan pelabuhan laut wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari: a. Pemerintah Pusat untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul; dan b. gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan, berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan laut yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. 18. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97 (1) Pelabuhan laut hanya dapat dioperasikan setelah selesai dibangun dan memenuhi persyaratan operasional serta wajib memenuhi Perizinan Berusaha. (2) Perizinan Berusaha terkait pengoperasian pelabuhan laut diberikan oleh: a. Pemerintah Pusat untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul; dan b. gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan; sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 19. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98 (1) Pembangunan pelabuhan sungai dan danau wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari bupati/walikota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan sungai dan danau yang dilakukan oleh instansi pemerintah, harus mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. (3) Perizinan Berusaha untuk mengoperasikan pelabuhan sungai dan danau diberikan oleh bupati/walikota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 20. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99 Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis kegiatan pengusahaan di pelabuhan, serta Perizinan Berusaha terkait pembangunan dan pengoperasian pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 21. Ketentuan Pasal 103 dihapus. 22. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104 (1) Terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) hanya dapat dibangun dan dioperasikan dalam hal: a. pelabuhan terdekat tidak dapat menampung kegiatan pokok tersebut; atau b. berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis operasional akan lebih efektif dan efisien serta lebih menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran apabila membangun dan mengoperasikan terminal khusus. (2) Untuk membangun dan mengoperasikan terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 23. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106 Terminal khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai dengan Perizinan Berusaha yang telah diberikan dapat diserahkan kepada Pemerintah Pusat atau dikembalikan seperti keadaan semula atau diusulkan untuk perubahan status menjadi terminal khusus untuk menunjang usaha pokok yang lain atau menjadi pelabuhan. 24. Ketentuan Pasal 107 dihapus. 25. Ketentuan Pasal 111 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 111 (1) Kegiatan pelabuhan untuk menunjang kelancaran perdagangan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dilakukan oleh pelabuhan utama. (2) Penetapan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan: a. pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional; b. kepentingan perdagangan internasional; c. kepentingan pengembangan kemampuan angkutan laut nasional; d. posisi geografis yang terletak pada lintasan pelayaran internasional; e. Tatanan Kepelabuhanan Nasional; f. fasilitas pelabuhan; g. keamanan dan kedaulatan negara; dan h. kepentingan nasional lainnya. (3) Terminal khusus tertentu dapat digunakan untuk melakukan kegiatan perdagangan luar negeri. (4) Terminal khusus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi persyaratan: a. aspek administrasi; b. aspek ekonomi; c. aspek keselamatan dan keamanan pelayaran; d. aspek teknis fasilitas kepelabuhanan; e. fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi, dan Karantina; dan f. jenis komoditas khusus. (5) Pelabuhan dan terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. 26. Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 124 Setiap pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya serta pengoperasian kapal di perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal yang sesuai dengan ketentuan standar internasional. 27. Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 125 (1) Sebelum pembangunan dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya, pemilik atau galangan kapal wajib membuat perhitungan dan gambar rancang bangun serta data kelengkapannya. (2) Pembangunan atau pengerjaan kapal yang merupakan perombakan harus sesuai dengan gambar rancang bangun dan data yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Pengawasan terhadap pembangunan dan pengerjaan perombakan kapal dilakukan oleh Pemerintah Pusat. 28. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 126 (1) Kapal yang dinyatakan memenuhi persyaratan keselamatan kapal diberi sertifikat keselamatan oleh Pemerintah Pusat. (2) Sertifikat keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. sertifikat keselamatan kapal penumpang; b. sertifikat keselamatan kapal barang; dan c. sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal penangkap ikan. 29. Ketentuan Pasal 127 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 127 (1) Sertifikat kapal tidak berlaku apabila: a. masa berlaku sudah berakhir; b. tidak melaksanakan pengukuhan sertifikat (endorsement); c. kapal rusak dan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan keselamatan kapal; d. kapal berubah nama; e. kapal berganti bendera; f. kapal tidak sesuai lagi dengan data-data teknis dalam sertifikat keselamatan kapal; g. kapal mengalami perombakan yang mengakibatkan perubahan konstruksi kapal, perubahan ukuran utama kapal, perubahan fungsi atau jenis kapal; h. kapal tenggelam atau hilang; atau i. kapal ditutuh (scrapping). (2) Sertifikat kapal dibatalkan apabila: a. keterangan dalam dokumen kapal yang digunakan untuk penerbitan sertifikat ternyata b. tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya; c. kapal sudah tidak memenuhi persyaratan keselamatan kapal; atau d. sertifikat diperoleh secara tidak sah. (3) Persyaratan sertifikat kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat disesuaikan berdasarkan ketentuan standar internasional. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembatalan sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 30. Ketentuan Pasal 129 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 129 (1) Kapal berdasarkan jenis dan ukuran tertentu wajib diklasifikasikan pada badan klasifikasi untuk keperluan persyaratan keselamatan kapal. (2) Badan klasifikasi nasional atau badan klasifikasi asing yang diakui dapat ditunjuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian terhadap kapal untuk memenuhi persyaratan keselamatan kapal. (3) Pengakuan dan penunjukan badan klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Pusat. (4) Badan klasifikasi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melaporkan kegiatannya kepada Pemerintah Pusat. 31. Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 130 (1) Setiap kapal yang memperoleh sertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) wajib dipelihara sehingga tetap memenuhi persyaratan keselamatan kapal. (2) Dalam keadaan tertentu Pemerintah Pusat dapat memberikan pembebasan sebagian persyaratan yang ditetapkan dengan tetap memperhatikan keselamatan kapal (3) Pemeliharaan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala dan sewaktu-waktu. 32. Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 133 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan gambar dan pembangunan kapal serta pemeriksaan dan sertifikasi keselamatan kapal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 33. Penjelasan Pasal 154 diubah sehingga berbunyi sebagaimana dalam Penjelasan. 34. Ketentuan Pasal 155 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 155 (1) Setiap kapal sebelum dioperasikan wajib dilakukan pengukuran oleh pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh Pemerintah Pusat. (2) Pengukuran kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan menurut 3 (tiga) metode, yaitu: a. pengukuran dalam negeri untuk kapal yang berukuran panjang kurang dari 24 (dua puluh empat) meter; b. pengukuran internasional untuk kapal yang berukuran panjang 24 (dua puluh empat) meter atau lebih; dan c. pengukuran khusus untuk kapal yang akan melalui terusan tertentu. (3) Berdasarkan pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan Surat Ukur untuk kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage). (4) Surat Ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk. 35. Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 157 (1) Pemilik, operator kapal, atau Nakhoda melaporkan kepada Pemerintah Pusat dalam hal terjadi perombakan kapal yang menyebabkan perubahan data yang ada dalam Surat Ukur. (2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara elektronik. 36. Ketentuan Pasal 158 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 158 (1) Kapal yang telah diukur dan mendapat Surat Ukur dapat didaftarkan di Indonesia oleh pemilik kepada Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Kapal yang dapat didaftar di Indonesia yaitu: a. kapal dengan ukuran tonase kotor sekurangkurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage); dan b. kapal milik warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; dan c. kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia. (3) Pendaftaran kapal dilakukan dengan pembuatan akta pendaftaran dan dicatat dalam daftar kapal Indonesia. (4) Sebagai bukti kapal telah terdaftar, kepada pemilik diberikan grosse akta pendaftaran kapal yang berfungsi pula sebagai bukti hak milik atas kapal yang telah didaftar. (5) Pada kapal yang telah didaftar wajib dipasang Tanda Pendaftaran. 37. Ketentuan Pasal 159 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 159 (1) Pendaftaran kapal dilakukan di tempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Pemilik kapal bebas memilih salah satu tempat pendaftaran kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mendaftarkan kapalnya. 38. Ketentuan asal 163 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 163 (1) Kapal yang didaftar di Indonesia dan berlayar di laut diberikan Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia oleh Pemerintah Pusat. (2) Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk: a. Surat Laut untuk kapal berukuran GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage) atau lebih; b. Pas Besar untuk kapal berukuran GT 7 (tujuh Gross Tonnage) sampai dengan ukuran kurang dari GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage); atau c. Pas Kecil untuk kapal berukuran kurang dari GT 7 (tujuh Gross Tonnage). (3) Kapal yang hanya berlayar di perairan sungai dan danau diberikan pas sungai dan danau. 39. Ketentuan Pasal 168 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 168 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengukuran dan penerbitan surat ukur, tata cara, persyaratan, dan dokumentasi pendaftaran kapal, serta tata cara dan persyaratan penerbitan Surat Tanda Kebangsaan Kapal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 40. Ketentuan Pasal 169 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 169 (1) Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal untuk jenis dan ukuran tertentu harus memenuhi persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal. (2) Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat. (3) Sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa Dokumen Penyesuaian Manajemen Keselamatan (Document of Compliance) untuk perusahaan dan Sertifikat Manajemen Keselamatan (Safety Management Certificate) untuk kapal. (4) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat. (5) Sertifikat Manajemen Keselamatan dan Pencegahan Pencemaran diterbitkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan penerbitan sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran diatur dengan Peraturan Pemerintah. 41. Ketentuan Pasal 170 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 170 (1) Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal untuk ukuran tertentu harus memenuhi persyaratan manajemen keamanan kapal. (2) Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen keamanan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat. (3) Sertifikat Manajemen Keamanan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa Sertifikat Keamanan Kapal Internasional (International Ship Security Certificate). (4) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat. (5) Sertifikat Manajemen Keamanan Kapal diterbitkan oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan penerbitan sertifikat manajemen keamanan kapal diatur dengan Peraturan Pemerintah 42. Ketentuan Pasal 171 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 171 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1), Pasal 97 ayat (1), Pasal 98 ayat (1), Pasal 100 ayat (3), Pasal 104 ayat (2), Pasal 106, Pasal 125 ayat (1), Pasal 130 ayat (1), 131 ayat (2), Pasal 132 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 135, Pasal 137 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 138 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 141 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 149 ayat (1), Pasal 152 ayat (1), Pasal 156 ayat (1), Pasal 158 ayat (5), Pasal 160 ayat (1), Pasal 162 ayat (1), atau Pasal 165 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Pejabat pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 43. Ketentuan Pasal 197 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 197 (1) Untuk kepentingan keselamatan dan keamanan pelayaran, desain dan pekerjaan pengerukan alur- pelayaran dan kolam pelabuhan, serta reklamasi wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, kriteria. (2) Pekerjaan pengerukan alur-pelayaran dan kolam pelabuhan serta reklamasi dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dan dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai desain dan pekerjaan pengerukan alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan reklamasi serta sertifikasi pelaksana pekerjaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 44. Ketentuan Pasal 204 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 204 (1) Kegiatan salvage dilakukan terhadap kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau tenggelam. (2) Setiap kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 45. Ketentuan Pasal 213 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 213 (1) Pemilik, Operator Kapal, atau Nakhoda wajib memberitahukan kedatangan kapalnya di pelabuhan kepada Syahbandar. (2) Setiap kapal yang memasuki pelabuhan wajib menyerahkan surat, dokumen, dan warta Kapal kepada Syahbandar seketika pada saat kapal tiba di pelabuhan dan/atau menyampaikan secara elektronik sebelum kapal tiba untuk dilakukan pemeriksaan. (3) Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) surat, dokumen, dan warta kapal disimpan oleh Syahbandar untuk diserahkan kembali bersamaan dengan diterbitkannya Surat Persetujuan Berlayar. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan kedatangan kapal, pemeriksaan, penyerahan, serta penyimpanan surat, dokumen, dan warta kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 46. Ketentuan Pasal 225 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 225 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1), Pasal 204 ayat (2), Pasal 213 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 214, Pasal 215, atau Pasal 216 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 47. Ketentuan Pasal 243 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 243 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2), Pasal 233 ayat (3), Pasal 234, Pasal 235, atau Pasal 239 ayat (2) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 48. Ketentuan Pasal 273 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 273 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 49. Ketentuan Pasal 288 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 288 Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan sungai dan danau tanpa memenuhi Perizinan Berusaha untuk trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) yang menimbulkan kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 50. Ketentuan Pasal 289 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 289 Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan penyeberangan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha terkait persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) yang menimbulkan kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 51. Ketentuan Pasal 290 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 290 Setiap orang yang menyelenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 yang menimbulkan korban manusia atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 52. Ketentuan Pasal 291 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 291 Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). 53. Ketentuan Pasal 292 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 292 Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) yang mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 54. Ketentuan Pasal 293 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 293 Setiap orang yang tidak memberikan fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) yang menimbulkan kecelakaan dan/atau korban manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). 55. Ketentuan Pasal 294 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 294 (1) Setiap orang yang mengangkut barang khusus dan barang berbahaya tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang mengakibatkan timbulnya korban manusia atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). 56. Ketentuan Pasal 295 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 295 Setiap orang yang mengangkut barang berbahaya dan barang khusus yang tidak menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 yang mengakibatkan timbulnya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 57. Ketentuan Pasal 296 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 296 Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). 58. Ketentuan Pasal 297 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 297 (1) Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan pelabuhan sungai dan danau yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). (2) Setiap orang yang memanfaatkan garis pantai untuk melakukan kegiatan tambat kapal dan bongkar muat barang atau menaikkan dan menurunkan penumpang untuk kepentingan sendiri di luar kegiatan di pelabuhan, terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri tanpa memenuhi Perizinan Berusaha atau Persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 59. Ketentuan Pasal 298 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 298 Setiap orang yang tidak memberikan jaminan atas pelaksanaan tanggung jawab ganti rugi dalam melaksanakan kegiatan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3) yang mengakibatkan timbulnya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 60. Ketentuan Pasal 299 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 299 Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan terminal khusus tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 61. Ketentuan Pasal 307 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 307 Setiap orang yang mengoperasikan kapal tanpa dilengkapi dengan perangkat komunikasi radio dan kelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian barang dan harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 62. Ketentuan Pasal 308 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 308 Setiap orang yang mengoperasikan kapal tidak dilengkapi dengan peralatan meteorologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya kecelakaan kapal, korban manusia, atau kerugian barang dan harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 63. Ketentuan Pasal 310 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 310 Setiap orang yang mempekerjakan Awak Kapal tanpa memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam pasal 135 yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 64. Ketentuan Pasal 313 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 313 Setiap orang yang menggunakan peti kemas sebagai bagian dari alat angkut tanpa memenuhi persyaratan kelaikan peti kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 65. Ketentuan Pasal 314 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 314 Setiap orang yang tidak memasang tanda pendaftaran pada kapal yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (5) yang mengakibatkan timbulnya korban atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 66. Ketentuan Pasal 321 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 321 Pemilik kapal yang tidak menyingkirkan kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan keamanan pelayaran dalam batas waktu yang ditetapkan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kecelakaan kapal, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 67. Ketentuan Pasal 322 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 322 Nakhoda yang melakukan kegiatan perbaikan, percobaan berlayar, kegiatan alih muat di kolam pelabuhan, menunda, dan bongkar muat barang berbahaya tanpa persetujuan dari Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban atau terjadinya kecelakaan kapal, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). 68. Ketentuan Pasal 336 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 336 (1) Setiap pejabat yang melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana melakukan kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya. (3) Setiap pejabat yang karena melaksanakan tugas sesuai jabatan dan kewenangannya menyebabkan kerugian harta benda dan/atau hilangnya nyawa seseorang diluar kekuasaannya, tidak dapat dikenai sanksi. |