Isi

<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>

Revisi Revisi 905[Daftar Isi]
Bab BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha
Bagian Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi
Paragraf Paragraf 9 Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Judul Pasal 52
  Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6018) diubah:


1. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 5

(1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:

a. mengembangkan struktur usaha Jasa Konstruksi;

b. mengembangkan sistem persyaratan usaha Jasa
Konstruksi;

c. menyelenggarakan Perizinan Berusaha dalam
rangka registrasi badan usaha Jasa Konstruksi;

d. menyelenggarakan Perizinan Berusaha terkait Jasa
Konstruksi;

e. menyelenggarakan pemberian lisensi bagi lembaga
yang melaksanakan sekrtifikasi badan usaha;

f. mengembangkan sistem rantai pasok Jasa
Konstruksi;

g. mengembangkan sistem permodalan dan sistem
penjaminan usaha Jasa Konstruksi;

h. memberikan dukungan dan pelindungan bagi
pelaku usaha Jasa Konstruksi nasional dalam
mengakses pasar Jasa Konstruksi internasional;

i. mengembangkan sistem pengawasan tertib usaha
Jasa Konstruksi;

j. menyelenggarakan penerbitan Perizinan Berusaha
dalam rangka penanaman modal asing;

k. menyelenggarakan pengawasan tertib usaha Jasa
Konstruksi asing dan Jasa Konstruksi kualifikasi
besar;

l. menyelenggarakan pengembangan layanan usaha
Jasa Konstruksi;

m. mengumpulkan dan mengembangkan sistem
informasi yang terkait dengan pasar Jasa
Konstruksi di negara yang potensial untuk pelaku
usaha Jasa Konstruksi nasional;

n. mengembangkan sistem kemitraan antara usaha
Jasa Konstruksi nasional dan internasional;

o. menjamin terciptanya persaingan yang sehat dalam
pasar Jasa Konstruksi;

p. mengembangkan segmentasi pasar Jasa Konstruksi
nasional;


q. memberikan pelindungan hukum bagi pelaku usaha
Jasa Konstruksi nasional yang mengakses pasar
Jasa Konstruksi internasional; dan

r. menyelenggarakan registrasi pengalaman badan
usaha.

(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:

a. mengembangkan sistem pemilihan Penyedia Jasa
dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;

b. mengembangkan Kontrak Kerja Konstruksi yang
menjamin kesetaraan hak dan kewajiban antara
Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa;

c. mendorong digunakannya alternatif penyelesaian
sengketa penyelenggaraan Jasa Konstruksi di luar
pengadilan; dan

d. mengembangkan sistem kinerja Penyedia Jasa
dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

(3) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf c, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:

a. mengembangkan Standar Keamanan, Keselamatan,
Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi;

b. menyelenggarakan pengawasan penerapan Standar
Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan
Keberlanjutan dalam penyelenggaraan dan
pemanfaatan Jasa Konstruksi oleh badan usaha
Jasa Konstruksi;

c. menyelenggarakan registrasi penilai ahli; dan

d. menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal
terjadi Kegagalan Bangunan.

(4) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf d, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:

a. mengembangkan standar kompetensi kerja dan
pelatihan Jasa Konstruksi;

b. memberdayakan lembaga pendidikan dan pelatihan
kerja konstruksi nasional;

c. menyelenggarakan pelatihan tenaga kerja
konstruksi strategis dan percontohan;


d. mengembangkan sistem sertifikasi kompetensi
tenaga kerja konstruksi;

e. menetapkan standar remunerasi minimal bagi
tenaga kerja konstruksi;

f. menyelenggarakan pengawasan sistem sertifikasi,
pelatihan, dan standar remunerasi minimal bagi
tenaga kerja konstruksi;

g. menyelenggarakan akreditasi bagi asosiasi profesi
dan lisensi bagi lembaga sertifikasi profesi;

h. menyelenggarakan registrasi tenaga kerja
konstruksi;

i. menyelenggarakan registrasi pengalaman
profesional tenaga kerja konstruksi serta lembaga
pendidikan dan pelatihan kerja di bidang
konstruksi;

j. menyelenggarakan penyetaraan tenaga kerja
konstruksi asing; dan

k. membentuk lembaga sertifikasi profesi untuk
melaksanakan tugas sertifikasi kompetensi kerja
yang belum dapat dilakukan lembaga sertifikasi
profesi yang dibentuk oleh asosiasi profesi atau
lembaga pendidikan dan pelatihan.

(5) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf e, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:

a. mengembangkan standar material dan peralatan
konstruksi, serta inovasi teknologi konstruksi;

b. mengembangkan skema kerja sama antara institusi
penelitian dan pengembangan dan seluruh
pemangku kepentingan Jasa Konstruksi;

c. menetapkan pengembangan teknologi prioritas;

d. mempublikasikan material dan peralatan
konstruksi serta teknologi konstruksi dalam negeri
kepada seluruh pemangku kepentingan, baik
nasional maupun internasional;

e. menetapkan dan meningkatkan penggunaan
standar mutu material dan peralatan sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia;

f. melindungi kekayaan intelektual atas material dan
peralatan konstruksi serta teknologi konstruksi
hasil penelitian dan pengembangan dalam negeri;
dan


g. membangun sistem rantai pasok material,
peralatan, dan teknologi konstruksi.

(6) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf f, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:

a. meningkatkan partisipasi masyarakat yang
berkualitas dan bertanggung jawab dalam
pengawasan penyelenggaraan Jasa Konstruksi;

b. meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat
Jasa Konstruksi;

c. memfasilitasi penyelenggaraan forum Jasa
Konstruksi sebagai media aspirasi masyarakat Jasa
Konstruksi;

d. memberikan dukungan pembiayaan terhadap
penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi Kerja; dan

e. meningkatkan partisipasi masyarakat yang
berkualitas dan bertanggung jawab dalam Usaha
Penyediaan Bangunan.

(7) Dukungan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) huruf d dilakukan dengan mempertimbangkan
kemampuan keuangan negara.

(8) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf g, Pemerintah Pusat memiliki
kewenangan:

a. mengembangkan sistem informasi Jasa Konstruksi
nasional; dan

b. mengumpulkan data dan informasi Jasa Konstruksi
nasional dan internasional.

2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 6

(1) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf a, gubernur sebagai wakil
pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:

a. memberdayakan badan usaha Jasa Konstruksi;

b. menyelenggarakan pengawasan proses pemberian
Perizinan Berusaha;

c. menyelenggarakan pengawasan tertib usaha Jasa
Konstruksi di provinsi;


d. menyelenggarakan pengawasan sistem rantai pasok
konstruksi di provinsi; dan

e. memfasilitasi kemitraan antara badan usaha Jasa
Konstruksi di provinsi dengan badan usaha dari
luar provinsi.

(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf b, gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:

a. menyelenggarakan pengawasan pemilihan penyedia
Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi;

b. menyelenggarakan pengawasan Konstruksi; dan

c. menyelenggarakan pengawasan tertib
penyelenggaraan dan tertib pemanfaatan Jasa
Konstruksi di provinsi.

(3) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf c, gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat memiliki kewenangan
menyelenggarakan pengawasan penerapan Standar
Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan
Keberlanjutan dalam penyelenggaraan dan
pemanfaatan Jasa Konstruksi oleh badan usaha Jasa
Konstruksi kualifikasi kecil dan menengah.

(4) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf d, gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat memiliki kewenangan
menyelenggarakan pengawasan:

a. Sistem Sertifikasi Kompetensi Kerja;

b. pelatihan tenaga kerja konstruksi; dan

c. upah tenaga kerja konstruksi.

(5) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf e, gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:

a. menyelenggarakan pengawasan penggunaan
material, peralatan, dan teknologi konstruksi;


b. memfasilitasi kerja sama antara institusi penelitian
dan pengembangan Jasa Konstruksi dengan
seluruh pemangku kepentingan Jasa Konstruksi;

c. memfasilitasi pengembangan teknologi prioritas;

d. menyelenggarakan pengawasan pengelolaan dan
pemanfaatan sumber material konstruksi; dan

e. meningkatkan penggunaan standar mutu material
dan peralatan sesuai dengan Standar Nasional
Indonesia.

(6) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf f, gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat memiliki kewenangan:

a. memperkuat kapasitas kelembagaan masyarakat
Jasa Konstruksi provinsi;

b. meningkatkan partisipasi masyarakat Jasa
Konstruksi yang berkualitas dan bertanggung jawab
dalam pengawasan penyelenggaraan usaha Jasa
Konstruksi; dan

c. meningkatkan partisipasi masyarakat Jasa
Konstruksi yang berkualitas dan bertanggung jawab
dalam usaha penyediaan bangunan.

(7) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf g, gubernur sebagai wakil
Pemerintah Pusat di daerah sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat memiliki kewenangan
mengumpulkan data dan informasi Jasa Konstruksi di
provinsi.

3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 7

Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat pada sub-urusan Jasa Konstruksi
meliputi:

a. penyelenggaraan pelatihan tenaga ahli konstruksi; dan

b. penyelenggaraan sistem informasi Jasa Konstruksi
cakupan daerah provinsi.

4. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 8


Kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai
dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat pada suburusan Jasa
Konstruksi meliputi:

a. penyelenggaraan pelatihan tenaga terampil konstruksi;

b. penyelenggaraan sistem informasi Jasa Konstruksi
cakupan daerah kabupaten/kota;

c. penerbitan Perizinan Berusaha kualifikasi kecil,
menengah, dan besar; dan

d. pengawasan tertib usaha, tertib penyelenggaraan, dan
tertib pemanfaatan Jasa Konstruksi.

5. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 9

Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pemerintah Pusat
dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat dapat melibatkan masyarakat Jasa
Konstruksi.

6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 10

Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan
kewenangan serta Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 9 diatur
dengan Peraturan Pemerintah

7. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 20

(1) Kualifikasi usaha bagi badan usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 terdiri atas:

a. kecil;

b. menengah; dan

c. besar.

(2) Penetapan kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan melalui penilaian terhadap:

a. penjualan tahunan;

b. kemampuan keuangan;

c. ketersediaan tenaga kerja konstruksi; dan


d. kemampuan dalam penyediaan peralatan
konstruksi.

(3) Kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menentukan batasan kemampuan usaha dan
segmentasi pasar usaha Jasa Konstruksi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan kualifikasi
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

8. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 26

(1) Setiap usaha orang perseorangan dan badan usaha
jasa konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
yang akan memberikan layanan Jasa Konstruksi wajib
memenuhi Perizinan Berusaha.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

9. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 27

Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota
sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kepada usaha orang
perseorangan yang berdomisili di wilayahnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

10. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 28

Perizinan Berusaha sebagaimana dimasud dalam Pasal 26
ayat (2) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota
sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kepada badan usaha yang
berdomisili di wilayahnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

11. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 29

(1) Perizinan Berusaha berlaku untuk melaksanakan
kegiatan usaha Jasa Konstruksi di seluruh wilayah
Republik Indonesia.


(2) Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 dan Pasal 28 membentuk peraturan di daerah
mengenai Perizinan Berusaha.

12. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 30

(1) Setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi
wajib memiliki Sertifikat Badan Usaha.

(2) Sertifikat Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterbitkan melalui suatu proses sertifikasi dan
registrasi oleh Pemerintah Pusat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan
registrasi badan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

13. Ketentuan Pasal 31 dihapus.

14. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 33

(1) Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 huruf a wajib:

a. berbentuk badan usaha dengan kualifikasi yang
setara dengan kualifikasi besar;

b. memenuhi Perizinan Berusaha;

c. membentuk kerja sama operasi dengan badan
usaha Jasa Konstruksi nasional berkualifikasi besar
yang memenuhi Perizinan Berusaha;

d. mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja
Indonesia daripada tenaga kerja asing;

e. menempatkan warga negara Indonesia sebagai
pimpinan tertinggi kantor perwakilan;

f. mengutamakan penggunaan material dan teknologi
konstruksi dalam negeri;

g. memiliki teknologi tinggi, mutakhir, efisien,
berwawasan lingkungan, serta memperhatikan
kearifan lokal;

h. melaksanakan proses alih teknologi; dan

i. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.


(2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf b diberikan oleh Pemerintah Pusat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf c dilakukan dengan prinsip kesetaraan
kualifikasi, kesamaan layanan, dan tanggung renteng.

15. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 34

(1) Ketentuan mengenai kerja sama modal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 huruf b dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Badan usaha Jasa Konstruksi yang dibentuk dalam
rangka kerja sama modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 huruf b harus memenuhi persyaratan
kualifikasi besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 ayat (1) huruf c.

(3) Badan usaha Jasa Konstruksi yang dibentuk dalam
rangka kerja sama modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib memenuhi Perizinan Berusaha.

(4) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) diberikan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

16. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 35

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan
Berusaha, tata cara kerja sama operasi, dan penggunaan
lebih banyak tenaga kerja Indonesia, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d,
dan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

17. Ketentuan Pasal 36 dihapus.

18. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 38

(1) Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dilakukan melalui
penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi.

(2) Penyelenggaraan Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjakan sendiri atau
melalui pengikatan Jasa Kontruksi.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
usaha Jasa Konstruksi yang dikerjakan sendiri atau
melalui pengikatan Jasa Konstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

19. Ketentuan Pasal 42 dihapus.

20. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 44

Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat

(2) dilarang menggunakan Penyedia Jasa yang terafiliasi
pada pembangunan untuk kepentingan umum tanpa
melalui tender, seleksi, atau katalog elektronik.

21. Ketentuan Pasal 57 dihapus.

22. Ketentuan Pasal 58 dihapus.

23. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 59

(1) Dalam setiap penyelenggaraan Jasa Konstruksi,
Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa wajib memenuhi
Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan
Keberlanjutan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Jasa
Konstruksi, Pengguna Jasa, dan Penyedia Jasa wajib
memenuhi standar Keamanan, Keselamatan,
Kesehatan, dan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

24. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 69

(1) Pelatihan tenaga kerja konstruksi diselenggarakan
dengan metode pelatihan kerja yang relevan, efektif,
dan efisien sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja.

(2) Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditujukan untuk meningkatkan produktivitas kerja.

(3) Standar Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

(4) Pelatihan tenaga kerja konstruksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh lembaga
pendidikan dan pelatihan kerja sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.


(5) Lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) memenuhi Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

25. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 72

(1) Untuk mendapatkan pengakuan pengalaman
profesional, setiap tenaga kerja konstruksi harus
melakukan registrasi kepada Pemerintah Pusat.

(2) Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuktikan dengan tanda daftar pengalaman
profesional.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

26. Ketentuan Pasal 74 dihapus.

27. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 84

(1) Penyelenggaraan sebagian kewenangan Pemerintah
Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
mengikutsertakan masyarakat Jasa Konstruksi.

(2) Keikutsertaan masyarakat Jasa Konstruksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
satu lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat.

(3) Unsur pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat diusulkan dari:

a. asosiasi perusahaan yang terakreditasi;

b. asosiasi profesi yang terakreditasi;

c. institusi pengguna Jasa Konstruksi yang memenuhi
kriteria;

d. perguruan tinggi atau pakar yang memenuhi
kriteria; dan

e. asosiasi terkait rantai pasok konstruksi yang
terakreditasi.

(4) Pengurus lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah


mendapatkan persetujuan dari Dewan Perwakilan
Rakyat.

(5) Penyelenggaraan sebagian kewenangan yang dilakukan
oleh lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibiayai dengan anggaran pendapatan dan belanja
negara dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Biaya yang diperoleh dari masyarakat atas layanan
dalam penyelenggaraan sebagian kewenangan yang
dilakukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) merupakan penerimaan negara bukan pajak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
sebagian kewenangan Pemerintah Pusat yang
mengikutsertakan masyarakat Jasa Konstruksi dan
pembentukan lembaga diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

28. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 89

Setiap orang yang tidak memiliki Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dikenai
sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda administratif; dan/atau

c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa
Konstruksi.

29. Ketentuan Pasal 92 dihapus.

30. Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 96

(1) Setiap Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa yang
tidak memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan,
Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan
Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda administratif;

c. penghentian sementara kegiatan Konstruksi;

d. layanan Jasa pencantuman dalam daftar hitam;


e. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/ atau

f. pencabutan Perizinan Berusaha.

(2) Setiap Pengguna Jasa dan/ atau Penyedia Jasa yang
dalam memberikan pengesahan atau persetujuan
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda administratif;

c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa
Konstruksi;

d. pencantuman dalam daftar hitam;

e. pembekuan Perizinan Berusaha;

f. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/ atau

g. pencabutan Sertifikat Badan Usaha untuk Penyedia
Jasa Konstruksi.

31. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 99

(1) Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang
Jasa Konstruksi tidak memiliki Sertifikat Kompetensi
Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)
tentang Jasa Konstruksi dikenai sanksi administratif
berupa pemberhentian dari tempat kerja.

(2) Setiap Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa yang
mempekerjakan tenaga kerja konstruksi yang tidak
memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dikenai sanksi
administratif berupa:

a. denda administratif; dan/atau

b. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa
Konstruksi.

(3) Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang
Jasa Konstruksi yang memiliki Sertifikat Kompetensi
Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1)
yang tidak berpraktek sesuai dengan standar
kompetensi kerja nasional Indonesia, standar
internasional, dan atau standar khusus dikenakan
sanksi berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda administratif;

c. pembekuan sertifikat kompetensi kerja; dan/atau


d. pencabutan sertifikat kompetensi kerja

(4) Setiap lembaga sertifikasi profesi yang tidak mengikuti
ketentuan pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3) dikenai sanksi
berupa:

a. peringatan tertulis;

b. denda administratif;

c. pembekuan lisensi; dan/atau

d. pencabutan lisensi.

32. Ketentuan Pasal 101 dihapus.

33. Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 102

Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91,

Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98,
Pasal 99, dan Pasal 100 diatur dalam Peraturan Pemerintah.