<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>
Revisi | Revisi 905[Daftar Isi] |
Bab | BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha |
Bagian | Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi |
Paragraf | Paragraf 8 Perdagangan, Metrologi Legal, Jaminan Produk Halal, dan Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian |
Judul | Pasal 48 |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 10 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. 2. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. 3. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk. 4. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan Produk. 5. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal. 6. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan JPH. 7. Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disingkat MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. 8. Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk. 9. Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan Produk. 10. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI. 11. Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk. 12. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia. 13. Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap PPH. 14. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. 15. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. 2. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 4A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A (1) Untuk Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 didasarkan atas pernyataan pelaku usaha Mikro dan Kecil. (2) Pernyataan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh BPJPH. 3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan: a. kementerian dan/atau lembaga terkait; b. LPH; dan c. MUI. 4. Ketentuan Pasal 10 diubah, sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Kerja sama BPJPH dengan MUI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dilakukan dalam hal penetapan kehalalan Produk. (2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan MUI dalam bentuk Keputusan Penetapan Halal Produk. 5. Ketentuan Pasal 13 diubah, sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Untuk mendirikan LPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, harus dipenuhi persyaratan: a. memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya; b. memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan c. memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium. (2) Dalam hal LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 14 diubah, sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Auditor Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c diangkat dan diberhentikan oleh LPH. (2) Pengangkatan Auditor Halal oleh LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan: a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, farmasi, kedokteran, tata boga, atau pertanian; d. memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam; dan e. mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan. 7. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 Auditor Halal bertugas: a. memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan; b. memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk; c. memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan; d. meneliti lokasi Produk; e. meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan; f. memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk; g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH. 8. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH dan auditor halal diatur dalam Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Pelaku Usaha yang tidak memisahkan lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) atau ayat (2) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai, kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27 (1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 atau Pasal 26 ayat (2) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai, kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28 (1) Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c bertugas: a. mengawasi PPH di perusahaan; b. menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan; c. mengoordinasikan PPH; dan d. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat pemeriksaan. (2) Penyelia Halal harus memenuhi persyaratan: a. beragama Islam; dan b. memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan. (3) Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dan dilaporkan kepada BPJPH. (4) Dalam hal kegiatan usaha dilakukan oleh Pelaku Usaha mikro dan kecil, Penyelia Halal dapat berasal dari Organisasi Kemasyarakatan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 (1) Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. (2) Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan dokumen: a. data Pelaku Usaha b. nama dan jenis Produk; c. daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan d. proses pengolahan Produk. (3) Jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal dilaksanakan paling lama 1 (satu) hari kerja. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan Sertifikat Halal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk berdasarkan permohonan Pelaku Usaha. (2) Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dinyatakan lengkap. 14. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 (1) Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan oleh Auditor Halal paling lama 15 (lima belas) hari kerja. (2) Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi. (3) Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium. (4) Dalam hal pemeriksaan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memerlukan tambahan waktu pemeriksaan, LPH dapat mengajukan perpanjangan waktu kepada BPJPH. (5) Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk diatur dengan Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32 (1) LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI dengan tembusan yang dikirimkan kepada BPJPH. (2) Dalam hal hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk tidak sesuai standar yang dimiliki oleh BPJPH, BPJPH menyampaikan pertimbangan kepada MUI untuk mengeluarkan fatwa. 16. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33 (1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI. (2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal. (3) Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memutuskan kehalalan produk paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari LPH. (4) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh MUI kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal. 17. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 34A diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak fatwa kehalalan Produk. 18. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 35A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 35A (1) Apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal maka LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi administrasi. (2) Apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/ menetapkan fatwa maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal. 19. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 20. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41 (1) Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 dikenai sanksi administratif . (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 21. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 (1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan. (2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan perpanjangan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir. (3) Apabila dalam pengajuan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha mencantumkan pernyataan memenuhi proses produksi halal dan tidak mengubah komposisi, BPJPH dapat langsung menerbitkan perpanjangan sertifikat halal. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perpanjangan Sertifikat Halal diatur dengan Peraturan Pemerintah. 22. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 (1) Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal. (2) Dalam hal permohonan Sertifikasi Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha Mikro dan Kecil, tidak dikenai biaya. 23. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 (1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 24. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53 (1) Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan JPH. (2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa : a. melakukan sosialisasi dan edukasi mengenai JPH; b. pendampingan dalam proses produk halal; c. publikasi bahwa produk berada dalam proses pendampingan; d. pemasaran dalam jejaring ormas Islam berbadan hukum; dan e. pengawasan Produk Halal yang beredar. (3) Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk Halal yang beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e berbentuk pengaduan atau pelaporan ke BPJPH. 25. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. 26. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). |