Isi

<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>

Revisi Revisi 905[Daftar Isi]
Bab BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha
Bagian Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi
Paragraf Paragraf 5 Energi Dan Sumber Daya Mineral
Judul Pasal 42
  Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5052) diubah:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 10 dan angka 12 diubah, angka 11
dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang
menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik
serta usaha penunjang tenaga listrik.

2. Tenaga listrik adalah suatu bentuk energi sekunder yang
dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk
segala macam keperluan, tetapi tidak meliputi listrik


yang dipakai untuk komunikasi, elektronika, atau
isyarat.

3. Usaha penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan
tenaga listrik meliputi pembangkitan, transmisi,
distribusi, dan penjualan tenaga listrik kepada
konsumen.

4. Pembangkitan tenaga listrik adalah kegiatan
memproduksi tenaga listrik.

5. Transmisi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik
dari pembangkitan ke sistem distribusi atau ke
konsumen, atau penyaluran tenaga listrik antarsistem.

6. Distribusi tenaga listrik adalah penyaluran tenaga listrik
dari sistem transmisi atau dari pembangkitan ke
konsumen.

7. Konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli
tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan
tenaga listrik.

8. Usaha penjualan tenaga listrik adalah kegiatan usaha
penjualan tenaga listrik kepada konsumen.

9. Rencana umum ketenagalistrikan adalah rencana
pengembangan sistem penyediaan tenaga listrik yang
meliputi bidang pembangkitan, transmisi, dan distribusi
tenaga listrik yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga listrik.

10. Perizinan Berusaha terkait ketenagalistrikan adalah
perizinan untuk melakukan kegiatan usaha penyediaan
tenaga listrik untuk kepentingan umum, usaha
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri,
dan/atau usaha jasa penunjang tenaga listrik.

11. Dihapus.

12. Wilayah usaha adalah wilayah yang ditetapkan
Pemerintah sebagai tempat badan usaha melakukan
usaha distribusi dan/atau penjualan tenaga listrik.

13. Ganti rugi hak atas tanah adalah penggantian atas
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah berikut
bangunan, tanaman, dan/atau benda lain yang terdapat
di atas tanah tersebut.

14. Kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada
pemegang hak atas tanah berikut bangunan, tanaman,
dan/atau benda lain yang terdapat di atas tanah tersebut
karena tanah tersebut digunakan secara tidak langsung
untuk pembangunan ketenagalistrikan tanpa dilakukan
pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.


15. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintah negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

16. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali
kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.

17. Menteri adalah menteri yang membidangi urusan
ketenagalistrikan.

18. Setiap orang adalah orang perorangan atau badan baik
yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan
hukum.

2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 3

(1) Penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara yang
penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah berlandaskan prinsip otonomi
daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur dan
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(2) Untuk penyelenggaraan penyediaan tenaga listrik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
menetapkan kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan
melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.

3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 4

(1) Pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria, dilakukan oleh badan usaha
milik negara dan badan usaha milik daerah

(2) Badan usaha milik daerah, Badan usaha swasta,
koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi
dalam usaha penyediaan tenaga listrik.

(3) Untuk penyediaan tenaga listrik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah menyediakan dana untuk:

a. kelompok masyarakat tidak mampu;


b. pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik di
daerah yang belum berkembang;

c. pembangunan tenaga listrik di daerah terpencil
dan perbatasan; dan

d. pembangunan listrik perdesaan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 5

(1) Kewenangan Pemerintah di bidang ketenagalistrikan
meliputi:

a. penetapan kebijakan ketenagalistrikan nasional;

b. penetapan peraturan perundang-undangan di
bidang ketenagalistrikan;

c. penetapan standar, pedoman, dan kriteria di
bidang ketenagalistrikan;

d. penetapan pedoman penetapan tarif tenaga listrik
untuk konsumen;

e. penetapan rencana umum ketenagalistrikan
nasional;

f. penetapan wilayah usaha;

g. penetapan Perizinan Berusaha terkait jual beli
tenaga listrik lintas negara

h. Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik;

i. penetapan tarif tenaga listrik untuk konsumen
dari pemegang Perizinan Berusaha penyediaan
tenaga listrik untuk kepentingan umum;

j. penetapan persetujuan harga jual tenaga listrik
dan sewa jaringan tenaga listrik dari pemegang
Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan umum;

k. penetapan persetujuan penjualan kelebihan
tenaga listrik dari pemegang Perizinan Berusaha
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri;

l. penetapan Perizinan Berusaha untuk kegiatan jasa
penunjang tenaga listrik;


m. penetapan Perizinan Berusaha terkait usaha jasa
penunjang tenaga listrik yang dilakukan oleh
badan usaha milik negara atau penanam modal
asing/mayoritas sahamnya dimiliki oleh penanam
modal asing;

n. penetapan Perizinan Berusaha terkait
pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk
kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan
informatika pada jaringan milik pemegang
Perizinan Berusaha terkait penyediaan tenaga
listrik atau Perizinan Berusaha terkait operasi
yang ditetapkan oleh Pemerintah;

o. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha
di bidang ketenagalistrikan;

p. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan;

q. pembinaan jabatan fungsional inspektur
ketenagalistrikan untuk seluruh tingkat
pemerintahan; dan

r. penetapan sanksi administratif kepada badan
usaha yang izinnya ditetapkan oleh Pemerintah.

(2) Kewenangan pemerintah provinsi di bidang
ketenagalistrikan meliputi:

a. penetapan peraturan daerah provinsi di bidang
ketenagalistrikan;

b. penetapan rencana umum ketenagalistrikan
daerah provinsi;

c. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha
di bidang ketenagalistrikan yang Perizinan
Berusahanya ditetapkan oleh pemerintah provinsi;

d. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk
provinsi; dan

e. penetapan sanksi administratif kepada badan
usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah
provinsi.

(3) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota di bidang
ketenagalistrikan meliputi:

a. penetapan peraturan daerah kabupaten/kota di
bidang ketenagalistrikan;

b. penetapan rencana umum ketenagalistrikan
daerah kabupaten/kota;

c. pembinaan dan pengawasan kepada badan usaha
di bidang ketenagalistrikan yang izinnya
ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota;


d. pengangkatan inspektur ketenagalistrikan untuk
kabupaten/kota; dan

e. penetapan sanksi administratif kepada badan
usaha yang izinnya ditetapkan oleh pemerintah
kabupaten/kota.

5. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 7

(1) Rencana umum ketenagalistrikan nasional disusun
berdasarkan kebijakan energi nasional dan ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.

(2) Rencana umum ketenagalistrikan nasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan
mengikutsertakan Pemerintah Daerah.

(3) Ketentuan mengenai pedoman penyusunan rencana
umum ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 10

(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a
meliputi jenis usaha:

a. pembangkitan tenaga listrik;

b. transmisi tenaga listrik;

c. distribusi tenaga listrik; dan/atau

d. penjualan tenaga listrik.

(2) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara terintegrasi.

(3) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan oleh 1 (satu) badan usaha dalam 1
(satu) wilayah usaha.

(4) Dalam hal usaha pembangkitan, transmisi, distribusi,
dan penjualan dilakukan secara terintegrasi, usaha
pembangkitan dan/atau transmisi dapat dilakukan di
luar wilayah usahanya.


(5) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum dengan jenis usaha distribusi tenaga listrik
dan/atau penjualan tenaga listrik dilakukan oleh 1
(satu) badan usaha dalam 1 (satu) Wilayah Usaha.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Wilayah Usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat

(5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

7. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 11

(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1)
dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, badan usaha swasta, koperasi, dan
swadaya masyarakat yang berusaha di bidang
penyediaan tenaga listrik.

(2) Badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberi prioritas pertama melakukan usaha
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum.

(3) Badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,
badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya
masyarakat dalam melakukan usaha penyediaan
tenaga listrik untuk kepentingan umum wajib
mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

(4) Untuk wilayah yang belum mendapatkan pelayanan
tenaga listrik, Pemerintah Pusat memberi kesempatan
kepada badan usaha milik daerah, badan usaha milik
swasta, atau koperasi sebagai penyelenggara usaha
penyediaan tenaga listrik terintegrasi.

(5) Dalam hal tidak ada badan usaha milik daerah, badan
usaha swasta, atau koperasi yang dapat menyediakan
tenaga listrik di wilayah tersebut, Pemerintah Pusat
wajib menugasi badan usaha milik negara untuk
menyediakan tenaga listrik.

8. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 13

(1) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 12
dilaksanakan hanya untuk pemakaian sendiri.


(2) Usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri dapat dilaksanakan oleh instansi Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara,
badan usaha milik daerah, badan usaha swasta,
koperasi, perseorangan, dan lembaga/badan usaha
lainnya.

(3) Instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan
usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan
usaha swasta, koperasi, perseorangan, dan
lembaga/badan usaha lainnya dalam melaksanakan
usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri wajib mengutamakan produk dan potensi dalam
negeri.

9. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 16

(1) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 huruf a meliputi:

a. konsultasi dalam bidang instalasi tenaga listrik;

b. pembangunan dan pemasangan instalasi tenaga
listrik;

c. pemeriksaan dan pengujian instalasi tenaga listrik;

d. pengoperasian instalasi tenaga listrik;

e. pemeliharaan instalasi tenaga listrik;

f. penelitian dan pengembangan;

g. pendidikan dan pelatihan;

h. laboratorium pengujian peralatan dan pemanfaat
tenaga listrik;

i. sertifikasi peralatan dan pemanfaat tenaga listrik;

j. sertifikasi kompetensi tenaga teknik
ketenagalistrikan;

k. sertifikasi badan usaha jasa penunjang tenaga listrik;
dan

l. usaha jasa lain yang secara langsung berkaitan
dengan penyediaan tenaga listrik.

(2) Usaha jasa penunjang tenaga listrik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha
swasta, badan layanan umum, dan koperasi yang
memiliki sertifikasi, klasifikasi, dan kualifikasi.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi, klasifikasi,
dan kualifikasi usaha jasa penunjang tenaga listrik
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

10. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 18

Usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang
tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
dilaksanakan setelah mendapatkan Perizinan Berusaha.

11. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 19

(1) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, diberikan kepada badan usaha untuk
kegiatan:

a. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum;

b. usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri; dan

c. usaha jasa penunjang tenaga listrik.

(2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan penyediaan tenaga
listrik untuk kepentingan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk untuk
kegiatan jual beli lintas negara.

(3) Setiap orang yang menyelenggarakan kegiatan usaha
penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum,
usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
sendiri, dan usaha jasa penunjang tenaga listrik wajib
memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).

12. Ketentuan Pasal 20 dihapus.

13. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 21

(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya menetapkan Perizinan


Berusaha berdasarkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(2) Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria berkaitan dengan Perizinan
Berusaha.

14. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 22

Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) huruf b diwajibkan untuk pembangkit tenaga listrik
dengan kapasitas tertentu yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

15. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 23

(1) Pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan sendiri dapat menjual kelebihan
tenaga listrik untuk dimanfaatkan bagi kepentingan
umum setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.

(2) Penjualan kelebihan tenaga listrik untuk kepentingan
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dalam hal wilayah tersebut belum terjangkau
oleh pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan
penyediaan tenaga listrik.

16. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 24

Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha untuk
kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum dan usaha penyediaan tenaga listrik untuk
kepentingan sendiri diatur dengan Peraturan Pemerintah.


17. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 25

Penetapan Perizinan Berusaha industri jasa penunjang
tenaga listrik untuk industri dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perindustrian.

18. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 27

(1) Pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan umum dalam melaksanakan usaha
penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (1) berhak untuk:

a. melintasi sungai atau danau, baik di atas maupun
di bawah permukaan;

b. melintasi laut, baik di atas maupun di bawah
permukaan;

c. melintasi jalan umum dan jalan kereta api;

d. masuk ke tempat umum atau perorangan dan
menggunakannya untuk sementara waktu;

e. menggunakan tanah dan melintas di atas atau di
bawah tanah;

f. melintas di atas atau di bawah bangunan yang
dibangun di atas atau di bawah tanah; dan

g. memotong dan/atau menebang tanaman yang
menghalanginya.

(2) Dalam pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan
tenaga listrik harus melaksanakannya berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

19. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 28

Pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan umum wajib:

a. menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar
mutu dan keandalan yang berlaku;


b. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
konsumen dan masyarakat;

c. memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan;
dan

d. mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.

20. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 29

(1) Konsumen berhak untuk:

a. mendapat pelayanan yang baik;

b. mendapat tenaga listrik secara terus-menerus
dengan mutu dan keandalan yang baik;

c. memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya
dengan harga yang wajar;

d. mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada
gangguan tenaga listrik; dan

e. mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman
yang diakibatkan kesalahan dan/atau kelalaian
pengoperasian oleh pelaku usaha untuk penyediaan
tenaga listrik untuk kepentingan umum sesuai
syarat yang diatur dengan perjanjian jual beli
tenaga listrik.

(2) Konsumen wajib:

a. melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang
mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik;

b. menjaga keamanan instalasi tenaga listrik milik
konsumen;

c. memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan
peruntukannya;

d. membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan

e. menaati persyaratan teknis di bidang
ketenagalistrikan.

(3) Konsumen bertanggung jawab apabila karena
kelalaiannya mengakibatkan kerugian pelaku usaha
untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab
konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.


21. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 30

(1) Penggunaan tanah oleh pelaku usaha untuk kegiatan
penyediaan tenaga listrik untuk melaksanakan haknya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dilakukan
dengan memberikan ganti rugi hak atas tanah atau
kompensasi kepada pemegang hak atas tanah,
bangunan, dan tanaman sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(2) Ganti rugi hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan untuk tanah yang dipergunakan
secara langsung oleh pemegang Perizinan Berusaha
untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik dan
bangunan serta tanaman di atas tanah.

(3) Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan untuk penggunaan tanah secara tidak
langsung oleh pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan
tenaga listrik yang mengakibatkan berkurangnya nilai
ekonomis atas tanah, bangunan, dan tanaman yang
dilintasi transmisi tenaga listrik.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan
kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(5) Dalam hal tanah yang digunakan pelaku usaha untuk
kegiatan penyediaan tenaga listrik terdapat bagian
tanah yang dikuasai oleh pemegang hak atas tanah
atau pemakai tanah negara, sebelum memulai
kegiatan, pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan
tenaga listrik wajib menyelesaikan masalah tanah
tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pertanahan.

(6) Dalam hal tanah yang digunakan pelaku usaha untuk
kegiatan penyediaan tenaga listrik terdapat tanah
ulayat, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan dengan memperhatikan ketentuan hukum
adat setempat.

22. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 32

(1) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi hak
atas tanah atau kompensasi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 30 dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(2) Ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dibebankan
kepada pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan
tenaga listrik.

23. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 33

(1) Harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga
listrik ditetapkan berdasarkan prinsip usaha yang
sehat.

(2) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya memberikan persetujuan atas
harga jual tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga
listrik berdasarkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

24. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 34

(1) Pemerintah Pusat menetapkan tarif tenaga listrik
untuk konsumen dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

(2) Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
memperhatikan keseimbangan kepentingan nasional,
daerah, konsumen, dan pelaku usaha penyediaan
tenaga listrik.

(3) Tarif tenaga listrik untuk konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan secara
berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha.

25. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 35

Pelaku usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik
dilarang menerapkan tarif tenaga listrik untuk konsumen
yang tidak sesuai dengan penetapan Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.


26. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 37

Jual beli tenaga listrik lintas negara dilakukan oleh pelaku
usaha untuk kegiatan penyediaan tenaga listrik
berdasarkan Perizinan Berusaha.

27. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 44

(1) Setiap kegiatan usaha ketenagalistrikan wajib
memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan.

(2) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan
kondisi:

a. andal dan aman bagi instalasi;

b. aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk hidup
lainnya; dan

c. ramah lingkungan.

(3) Ketentuan keselamatan ketenagalistrikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. pemenuhan standardisasi peralatan dan pemanfaat
tenaga listrik;

b. pengamanan instalasi tenaga listrik; dan

c. pengamanan pemanfaat tenaga listrik.

(4) Setiap instalasi tenaga listrik yang beroperasi wajib
memiliki sertifikat laik operasi.

(5) Setiap peralatan dan pemanfaat tenaga listrik wajib
memenuhi ketentuan standar nasional Indonesia.

(6) Setiap tenaga teknik dalam usaha ketenagalistrikan
wajib memiliki sertifikat kompetensi.

(7) Ketentuan mengenai keselamatan ketenagalistrikan,
sertifikat laik operasi, standar nasional Indonesia, dan
sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.


28. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 45

(1) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk kepentingan
telekomunikasi, multimedia, dan informatika hanya
dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu
kelangsungan penyediaan tenaga listrik.

(2) Pemanfaatan jaringan tenaga listrik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan pemilik jaringan.

(3) Pemilik jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
menyampaikan laporan kepada Pemerintah Pusat.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan jaringan
tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

29. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 46

(1) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah
berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap usaha
penyediaan tenaga listrik dalam hal:

a. penyediaan dan pemanfaatan sumber energi untuk
pembangkit tenaga listrik;

b. pemanfaatan jaringan tenaga listrik untuk
kepentingan telekomunikasi, multimedia, dan
informatika;

c. pemenuhan kecukupan pasokan tenaga listrik;

d. pemenuhan persyaratan keteknikan;

e. pemenuhan aspek perlindungan lingkungan hidup;

f. pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam
negeri;

g. penggunaan tenaga kerja asing;

h. pemenuhan tingkat mutu dan keandalan penyediaan
tenaga listrik;

i. pemenuhan persyaratan perizinan;

j. penerapan tarif tenaga listrik; dan


k. pemenuhan mutu jasa yang diberikan oleh usaha
penunjang tenaga listrik.

(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah
Daerah dapat:

a. melakukan inspeksi pengawasan di lapangan;

b. meminta laporan pelaksanaan usaha di bidang
ketenagalistrikan;

c. melakukan penelitian dan evaluasi atas laporan
pelaksanaan usaha di bidang ketenagalistrikan; dan

d. memberikan sanksi administratif terhadap
pelanggaran ketentuan Perizinan Berusaha.

(3) Dalam melaksanakan pengawasan keteknikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah dibantu oleh inspektur
ketenagalistrikan dan/atau Penyidik Pegawai Negeri
Sipil.

(4) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan kewenangan
pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada Pemerintah Daerah.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan
pengawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

30. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 48

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3), Pasal 19 ayat (3),
Pasal 22, Pasal 23 ayat (1), Pasal 27 ayat (2), Pasal 28,
Pasal 30 ayat (1), Pasal 33 ayat (2), Pasal 35, Pasal 37,
Pasal 42, Pasal 44 ayat (4) atau ayat (5), atau Pasal 45
ayat (3) dikenai sanksi administratif.:

a. teguran tertulis;

b. pembekuan kegiatan sementara;

c. denda; dan/atau

d. pencabutan Perizinan Berusaha.

(2) Setiap orang yang mendirikan bangunan atau
membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali
tanaman, yang:


a. telah diberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (2) dan/atau kompensasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3);

b. berpotensi masuk ke ruang bebas atau jarak bebas
minimum jaringan tenaga listrik; atau

c. berpotensi membahayakan keselamatan dan/atau
mengganggu keandalan penyediaan tenaga listrik,

dikenai sanksi administratif.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

31. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 49

(1) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga
listrik untuk kepentingan umum tanpa Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat

(2) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan
kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang melakukan usaha penyediaan tenaga
listrik untuk kepentingan sendiri tanpa Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang
mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan
Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan
(K3L), dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

(3) Setiap orang yang menjual kelebihan tenaga listrik
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan umum tanpa
persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1)
yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan
kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).


32. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 50

(1) Setiap orang yang tidak memenuhi keselamatan
ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

44 ayat (1) yang mengakibatkan matinya seseorang
karena tenaga listrik, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha
penyediaan tenaga listrik dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah).

(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
pemegang Perizinan Berusaha penyediaan tenaga listrik
diwajibkan untuk memberi ganti rugi kepada korban.

(4) Penetapan dan tata cara pembayaran ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

33. Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 51A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51A

Setiap orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan
bangunan dan/atau menanam kembali tanaman, yang
telah:

a. diberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (2) dan/atau kompensasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3);

b. masuk ke ruang bebas atau jarak bebas minimum
jaringan tenaga listrik; dan/atau

c. membahayakan keselamatan dan/atau mengganggu
keandalan penyediaan tenaga listrik,

dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).

34. Ketentuan Pasal 52 dihapus.


35. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 54

(1) Setiap orang yang mengoperasikan instalasi tenaga
listrik tanpa sertifikat laik operasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) yang mengakibatkan
timbulnya korban, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Dalam hal instalasi listrik rumah tangga masyarakat
dioperasikan tanpa sertifikat laik operasi, dampak yang
timbul akibat ketiadaan sertifikat laik operasi menjadi
tanggung jawab penyedia tenaga listrik.