<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>
Revisi | Revisi 905[Daftar Isi] |
Bab | BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha |
Bagian | Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi |
Paragraf | Paragraf 5 Energi Dan Sumber Daya Mineral |
Judul | Pasal 41 |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5585) diubah: 1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Panas Bumi merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat. (2) Penguasaan Panas Bumi oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dan berdasarkan prinsip pemanfaatan. 2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilakukan terhadap: a. Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada: 1. lintas wilayah provinsi termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; 2. Kawasan Hutan konservasi; 3. kawasan konservasi di perairan; dan 4. wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas di seluruh Indonesia. b. Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung yang berada di seluruh wilayah Indonesia, termasuk Kawasan Hutan produksi, Kawasan Hutan lindung, Kawasan Hutan konservasi, dan wilayah laut. (2) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, dilakukan untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada: a. lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan b. wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan. (3) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, dilakukan untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada: a. wilayah kabupaten/kota termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan b. wilayah laut paling jauh 1/3 (satu per tiga) dari wilayah laut kewenangan provinsi. 3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Kewenangan Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) meliputi: a. pembuatan kebijakan nasional; b. pengaturan di bidang Panas Bumi; c. Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi; d. pembuatan norma, standar, pedoman, dan kriteria untuk kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk pemanfaatan langsung; e. pembinaan dan pengawasan; f. pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi Panas Bumi; g. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi; h. pelaksanaan Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan Panas Bumi; dan i. pendorongan kegiatan penelitian, pengembangan, dan kemampuan perekayasaan. 4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Kewenangan pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, meliputi: a. pembentukan peraturan perundang-undangan daerah provinsi di bidang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung; b. pemberian Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung pada wilayah yang menjadi kewenangannya; c. pembinaan dan pengawasan; d. pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi Panas Bumi pada wilayah provinsi; dan e. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi pada wilayah provinsi. 5. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, meliputi: a. pembentukan peraturan perundang-undangan daerah kabupaten/kota di bidang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung; b. pemberian Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung pada wilayah yang menjadi kewenangannya; c. pembinaan dan pengawasan; d. pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi Panas Bumi pada wilayah kabupaten/kota; dan e. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan cadangan Panas Bumi pada wilayah kabupaten/kota. 6. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 (1) Setiap Orang yang melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a wajib terlebih dahulu memiliki Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung. (2) Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk pemanfaatan langsung yang berada pada: a. lintas wilayah provinsi termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; b. Kawasan Hutan konservasi; c. kawasan konservasi di perairan; dan d. wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas di seluruh Indonesia. (3) Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh gubernur sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada: a. lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan b. wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. (4) Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh bupati/wali kota sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, untuk Pemanfaatan Langsung yang berada pada: a. wilayah kabupaten/kota termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan b. wilayah laut paling jauh 1/3 (satu per tiga) dari wilayah laut kewenangan provinsi. (5) Izin Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diberikan berdasarkan permohonan dari Setiap Orang. (6) Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung diberikan setelah Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mendapat persetujuan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 7. Ketentuan Pasal 12 dihapus. 8. Ketentuan Pasal 13 dihapus. 9. Ketentuan Pasal 14 dihapus. 10. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 termasuk harga energi Panas Bumi diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1) Badan Usaha yang melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b wajib terlebih dahulu memenuhi Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi. (2) Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Badan Usaha berdasarkan hasil penawaran Wilayah Kerja. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24 Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung berada di Kawasan Hutan, pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi wajib memenuhi Perizinan Berusaha dibidang kehutanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 13. Ketentuan Pasal 25 dihapus. 14. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Pemerintah Pusat dapat mencabut Perizinan Berusaha Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf c jika pelaku usaha Panas Bumi: a. melakukan pelanggaran terhadap salah satu ketentuan yang tercantum dalam Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi; dan/atau b. tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Sebelum melaksanakan pencabutan Perizinan Berusaha Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat terlebih dahulu memberikan kesempatan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan kepada pelaku usaha Panas Bumi untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan Undang-Undang ini. 15. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 Pemerintah Pusat dapat membatalkan Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf d jika: a. Pelaku usaha Panas Bumi memberikan data, informasi, atau keterangan yang tidak benar dalam permohonan; atau b. Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi dinyatakan batal berdasarkan putusan pengadilan. 16. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38 (1) Dalam hal Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, pelaku usaha Panas Bumi wajib memenuhi dan menyelesaikan segala kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Kewajiban pelaku usaha Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan telah terpenuhi setelah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat. (3) Pemerintah Pusat menetapkan persetujuan pengakhiran Perizinan Berusaha Panas Bumi setelah pelaku usaha Panas Bumi melaksanakan pemulihan fungsi lingkungan di Wilayah Kerjanya serta kewajiban lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 17. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 (1) Badan Usaha pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi yang melanggar atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 27 ayat (1) atau ayat (3), Pasal 31 ayat (3), atau Pasal 32 ayat (2) dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara seluruh kegiatan; c. denda administrasi; dan/atau d. pencabutan Perizinan Berusaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 18. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42 (1) Dalam hal akan menggunakan bidang-bidang tanah negara, hak atas tanah, tanah ulayat, dan/atau Kawasan Hutan di dalam Wilayah Kerja, pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung atau pemegang Perizinan Berusaha terkait panas bumi harus terlebih dahulu melakukan penyelesaian penggunaan lahan dengan pemakai tanah di atas tanah negara atau pemegang hak atau Perizinan Berusaha di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal Pemerintah Pusat melakukan Eksplorasi untuk menetapkan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), sebelum melakukan Eksplorasi, Menteri melakukan penyelesaian penggunaan lahan dengan pemakai tanah di atas tanah negara atau pemegang hak atau Perizinan Berusaha di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara musyawarah dan mufakat dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada pemakai tanah di atau tanah negara atau pemegang hak. (4) Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi dilakukan oleh badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari Pemerintah, penyediaan tanah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 19. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: (1) Pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung atau Pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi sebelum melakukan pengusahaan Panas Bumi di atas tanah negara, hak atas tanah, tanah ulayat, dan/atau Kawasan Hutan harus: a. memperlihatkan: 1. Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung atau salinan yang sah; atau 2. Perizinan Berusaha terkait panas bumi atau salinan yang sah; b. memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang akan dilakukan; dan c. melakukan penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemakai tanah di atas tanah negara dan/atau pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. (2) Jika pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung atau pemegang Perizinan Berusaha terkait panas bumi telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemakai tanah di atas tanah negara dan/atau pemegang hak wajib mengizinkan pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung atau pemegang Perizinan Berusaha terkait panas bumi untuk melaksanakan pengusahaan Panas Bumi di atas tanah yang bersangkutan. 20. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46 Setiap Orang dilarang menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi yang telah memegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi dan telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. 21. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 Pelaku Usaha Pemanfaatan Langsung berhak melakukan pengusahaan Panas Bumi sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan. 22. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung wajib: a. memahami dan menaati peraturan perundang- undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan memenuhi standar yang berlaku; b. melakukan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan fungsi lingkungan hidup. 23. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49 Pelaku Usaha Pemanfaatan Langsung wajib memenuhi kewajiban berupa: a. pajak daerah; dan b. retribusi daerah. 24. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 (1) Setiap orang Pemegang Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung yang tidak memenuhi atau melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a atau huruf b atau Pasal 49 dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara seluruh kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung; dan/atau c. pencabutan Perizinan Berusaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 25. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56 (1) Badan Usaha pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi yang melanggar atau tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf g, huruf h, huruf i, atau huruf j, Pasal 53 ayat (1), atau Pasal 54 ayat (1) atau ayat (4) dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara seluruh kegiatan Eksplorasi, c. Eksploitasi, dan pemanfaatan; dan/atau d. pencabutan Perizinan Berusaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 26. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 (1) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Panas Bumi untuk pemanfaatan langsung. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung diatur dengan Peraturan Pemerintah. 27. Ketentuan Pasal 60 dihapus. 28. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67 Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). 29. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68 Setiap Orang yang memiliki Perizinan Berusaha yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tidak pada lokasi yang ditetapkan dalam Perizinan Berusaha yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah). 30. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69 Setiap Orang yang memiliki Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Langsung yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi yang tidak sesuai dengan peruntukannya, yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 31. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70 Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi yang dengan sengaja melakukan Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan bukan pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dipidana dengan denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah). 32. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71 Badan Usaha yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung tanpa Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). 33. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72 Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi yang dengan sengaja menggunakan Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi tidak sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus dua puluh miliar rupiah). 34. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73 Setiap Orang yang dengan sengaja menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi terhadap pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah). 35. Ketentuan Pasal 74 dihapus. |