Isi

<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>

Revisi Revisi 905[Daftar Isi]
Bab BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha
Bagian Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi
Paragraf Paragraf 5 Energi Dan Sumber Daya Mineral
Judul Pasal 41
  Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5585) diubah:

1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 4

(1) Panas Bumi merupakan kekayaan nasional yang
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besar kemakmuran rakyat.

(2) Penguasaan Panas Bumi oleh negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh
Pemerintah Pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya dan berdasarkan prinsip pemanfaatan.

2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 5

(1) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh Pemerintah Pusat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilakukan
terhadap:

a. Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang
berada pada:

1. lintas wilayah provinsi termasuk Kawasan
Hutan produksi dan Kawasan Hutan lindung;

2. Kawasan Hutan konservasi;

3. kawasan konservasi di perairan; dan


4. wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil diukur
dari garis pantai ke arah laut lepas di seluruh
Indonesia.

b. Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung
yang berada di seluruh wilayah Indonesia, termasuk
Kawasan Hutan produksi, Kawasan Hutan lindung,
Kawasan Hutan konservasi, dan wilayah laut.

(2) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh pemerintah provinsi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) sesuai
dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, dilakukan untuk
Pemanfaatan Langsung yang berada pada:

a. lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi
termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan
Hutan lindung; dan

b. wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil diukur
dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau
kearah perairan kepulauan.

(3) Penyelenggaraan Panas Bumi oleh pemerintah
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat,
dilakukan untuk Pemanfaatan Langsung yang berada
pada:

a. wilayah kabupaten/kota termasuk Kawasan Hutan
produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan

b. wilayah laut paling jauh 1/3 (satu per tiga) dari
wilayah laut kewenangan provinsi.

3. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 6

Kewenangan Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan
Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
meliputi:

a. pembuatan kebijakan nasional;

b. pengaturan di bidang Panas Bumi;

c. Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi;

d. pembuatan norma, standar, pedoman, dan kriteria
untuk kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk
pemanfaatan langsung;

e. pembinaan dan pengawasan;


f. pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi
Panas Bumi;

g. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan
cadangan Panas Bumi;

h. pelaksanaan Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau
pemanfaatan Panas Bumi; dan

i. pendorongan kegiatan penelitian, pengembangan, dan
kemampuan perekayasaan.

4. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 7

Kewenangan pemerintah provinsi dalam penyelenggaraan
Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, meliputi:

a. pembentukan peraturan perundang-undangan daerah
provinsi di bidang Panas Bumi untuk Pemanfaatan
Langsung;

b. pemberian Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
langsung pada wilayah yang menjadi kewenangannya;

c. pembinaan dan pengawasan;

d. pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi
Panas Bumi pada wilayah provinsi; dan

e. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan
cadangan Panas Bumi pada wilayah provinsi.

5. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 8

Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam
penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (3) sesuai dengan norma, standar, prosedur,
dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat,
meliputi:

a. pembentukan peraturan perundang-undangan daerah
kabupaten/kota di bidang Panas Bumi untuk
Pemanfaatan Langsung;

b. pemberian Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
langsung pada wilayah yang menjadi kewenangannya;

c. pembinaan dan pengawasan;


d. pengelolaan data dan informasi geologi serta potensi
Panas Bumi pada wilayah kabupaten/kota; dan

e. inventarisasi dan penyusunan neraca sumber daya dan
cadangan Panas Bumi pada wilayah kabupaten/kota.

6. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 11

(1) Setiap Orang yang melakukan pengusahaan Panas
Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a wajib terlebih
dahulu memiliki Perizinan Berusaha terkait
pemanfaatan langsung.

(2) Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
Pemerintah Pusat untuk pemanfaatan langsung yang
berada pada:

a. lintas wilayah provinsi termasuk Kawasan Hutan
produksi dan Kawasan Hutan lindung;

b. Kawasan Hutan konservasi;

c. kawasan konservasi di perairan; dan

d. wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil diukur dari
garis pantai ke arah laut lepas di seluruh Indonesia.

(3) Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
gubernur sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, untuk
Pemanfaatan Langsung yang berada pada:

a. lintas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi
termasuk Kawasan Hutan produksi dan Kawasan
Hutan lindung; dan

b. wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil diukur
dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke
arah perairan kepulauan.

(4) Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh
bupati/wali kota sesuai norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, untuk
Pemanfaatan Langsung yang berada pada:

a. wilayah kabupaten/kota termasuk Kawasan Hutan
produksi dan Kawasan Hutan lindung; dan


b. wilayah laut paling jauh 1/3 (satu per tiga) dari
wilayah laut kewenangan provinsi.

(5) Izin Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diberikan
berdasarkan permohonan dari Setiap Orang.

(6) Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung
diberikan setelah Setiap Orang sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) mendapat persetujuan lingkungan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.

7. Ketentuan Pasal 12 dihapus.

8. Ketentuan Pasal 13 dihapus.

9. Ketentuan Pasal 14 dihapus.

10. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 15

Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur
dan kriteria pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan
Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 termasuk
harga energi Panas Bumi diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

11. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 23

(1) Badan Usaha yang melakukan pengusahaan Panas
Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b wajib terlebih
dahulu memenuhi Perizinan Berusaha di bidang Panas
Bumi.

(2) Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah
Pusat kepada Badan Usaha berdasarkan hasil
penawaran Wilayah Kerja.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan
Berusaha di bidang Panas Bumi untuk Pemanfaatan
Tidak Langsung diatur dengan Peraturan Pemerintah.

12. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 24

Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk
Pemanfaatan Tidak Langsung berada di Kawasan Hutan,
pemegang Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dibidang kehutanan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

13. Ketentuan Pasal 25 dihapus.

14. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 36

(1) Pemerintah Pusat dapat mencabut Perizinan Berusaha
Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
huruf c jika pelaku usaha Panas Bumi:

a. melakukan pelanggaran terhadap salah satu
ketentuan yang tercantum dalam Perizinan
Berusaha terkait Panas Bumi; dan/atau

b. tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan.

(2) Sebelum melaksanakan pencabutan Perizinan
Berusaha Panas Bumi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemerintah Pusat terlebih dahulu memberikan
kesempatan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
kepada pelaku usaha Panas Bumi untuk memenuhi
kewajiban sesuai dengan ketentuan yang diatur dengan
Undang-Undang ini.

15. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 37

Pemerintah Pusat dapat membatalkan Perizinan Berusaha
terkait Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
huruf d jika:


a. Pelaku usaha Panas Bumi memberikan data, informasi,
atau keterangan yang tidak benar dalam permohonan;
atau

b. Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi dinyatakan
batal berdasarkan putusan pengadilan.

16. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 38

(1) Dalam hal Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi
berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33, pelaku usaha Panas Bumi wajib memenuhi
dan menyelesaikan segala kewajibannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan.

(2) Kewajiban pelaku usaha Panas Bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dinyatakan telah terpenuhi
setelah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah
Pusat.

(3) Pemerintah Pusat menetapkan persetujuan
pengakhiran Perizinan Berusaha Panas Bumi setelah
pelaku usaha Panas Bumi melaksanakan pemulihan
fungsi lingkungan di Wilayah Kerjanya serta kewajiban
lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

17. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 40

(1) Badan Usaha pemegang Perizinan Berusaha terkait
Panas Bumi yang melanggar atau tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pasal 20 ayat (2), Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (1)
atau ayat (2), Pasal 27 ayat (1) atau ayat (3), Pasal 31
ayat (3), atau Pasal 32 ayat (2) dikenai sanksi
administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara seluruh kegiatan;

c. denda administrasi; dan/atau

d. pencabutan Perizinan Berusaha.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

18. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 42

(1) Dalam hal akan menggunakan bidang-bidang tanah
negara, hak atas tanah, tanah ulayat, dan/atau
Kawasan Hutan di dalam Wilayah Kerja, pemegang
Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan langsung atau
pemegang Perizinan Berusaha terkait panas bumi
harus terlebih dahulu melakukan penyelesaian
penggunaan lahan dengan pemakai tanah di atas
tanah negara atau pemegang hak atau Perizinan
Berusaha di bidang kehutanan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Dalam hal Pemerintah Pusat melakukan Eksplorasi
untuk menetapkan Wilayah Kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), sebelum melakukan
Eksplorasi, Menteri melakukan penyelesaian
penggunaan lahan dengan pemakai tanah di atas
tanah negara atau pemegang hak atau Perizinan
Berusaha di bidang kehutanan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilakukan secara musyawarah dan mufakat
dengan cara jual beli, tukar-menukar, ganti rugi yang
layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain kepada
pemakai tanah di atau tanah negara atau pemegang
hak.

(4) Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi
dilakukan oleh badan usaha milik negara yang
mendapat penugasan khusus dari Pemerintah,
penyediaan tanah dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

19. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

(1) Pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
langsung atau Pemegang Perizinan Berusaha terkait
Panas Bumi sebelum melakukan pengusahaan Panas
Bumi di atas tanah negara, hak atas tanah, tanah
ulayat, dan/atau Kawasan Hutan harus:

a. memperlihatkan:


1. Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
langsung atau salinan yang sah; atau

2. Perizinan Berusaha terkait panas bumi atau
salinan yang sah;

b. memberitahukan maksud dan tempat kegiatan yang
akan dilakukan; dan

c. melakukan penyelesaian atau jaminan penyelesaian
yang disetujui oleh pemakai tanah di atas tanah
negara dan/atau pemegang hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42.

(2) Jika pemegang Perizinan Berusaha terkait
pemanfaatan langsung atau pemegang Perizinan
Berusaha terkait panas bumi telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemakai tanah di atas tanah negara dan/atau
pemegang hak wajib mengizinkan pemegang Perizinan
Berusaha terkait pemanfaatan langsung atau
pemegang Perizinan Berusaha terkait panas bumi
untuk melaksanakan pengusahaan Panas Bumi di atas
tanah yang bersangkutan.

20. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 46

Setiap Orang dilarang menghalangi atau merintangi
pengusahaan Panas Bumi yang telah memegang Perizinan
Berusaha terkait Panas Bumi dan telah menyelesaikan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.

21. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 47

Pelaku Usaha Pemanfaatan Langsung berhak melakukan
pengusahaan Panas Bumi sesuai dengan Perizinan
Berusaha yang diberikan.

22. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 48

Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung wajib:

a. memahami dan menaati peraturan perundang-
undangan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja


serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dan memenuhi standar yang berlaku;

b. melakukan pengendalian pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi kegiatan
pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan fungsi
lingkungan hidup.

23. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 49

Pelaku Usaha Pemanfaatan Langsung wajib memenuhi
kewajiban berupa:

a. pajak daerah; dan

b. retribusi daerah.

24. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 50

(1) Setiap orang Pemegang Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan Langsung yang tidak memenuhi atau
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 48 huruf a atau huruf b atau Pasal 49 dikenai
sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara seluruh kegiatan
pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan
Langsung; dan/atau

c. pencabutan Perizinan Berusaha.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

25. Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 56

(1) Badan Usaha pemegang Perizinan Berusaha terkait
Panas Bumi yang melanggar atau tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat


(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf g, huruf h, huruf i,
atau huruf j, Pasal 53 ayat (1), atau Pasal 54 ayat (1)
atau ayat (4) dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara seluruh kegiatan
Eksplorasi,

c. Eksploitasi, dan pemanfaatan; dan/atau

d. pencabutan Perizinan Berusaha.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

26. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 59

(1) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan Panas Bumi untuk
pemanfaatan langsung.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan
pengawasan penyelenggaraan Panas Bumi untuk
Pemanfaatan Langsung diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

27. Ketentuan Pasal 60 dihapus.

28. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 67

Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan
Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tanpa Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan
kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah).


29. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 68

Setiap Orang yang memiliki Perizinan Berusaha yang
dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk
Pemanfaatan Langsung tidak pada lokasi yang ditetapkan
dalam Perizinan Berusaha yang mengakibatkan timbulnya
korban/kerusakan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan
lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah).

30. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 69

Setiap Orang yang memiliki Perizinan Berusaha terkait
Pemanfaatan Langsung yang dengan sengaja melakukan
pengusahaan Panas Bumi yang tidak sesuai dengan
peruntukannya, yang mengakibatkan timbulnya
korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan,
keamanan, dan lingkungan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

31. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 70

Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha terkait Panas
Bumi yang dengan sengaja melakukan Eksplorasi,
Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan bukan pada Wilayah
Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2)
dipidana dengan denda paling banyak
Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah).

32. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 71

Badan Usaha yang dengan sengaja melakukan pengusahaan
Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung tanpa
Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) yang mengakibatkan
timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan,


keselamatan, keamanan, dan lingkungan, dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah).

33. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 72

Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha terkait Panas
Bumi yang dengan sengaja menggunakan Perizinan
Berusaha terkait Panas Bumi tidak sesuai dengan
peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus dua puluh miliar rupiah).

34. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 73

Setiap Orang yang dengan sengaja menghalangi atau
merintangi pengusahaan Panas Bumi terhadap pemegang
Perizinan Berusaha terkait Panas Bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah).

35. Ketentuan Pasal 74 dihapus.