Isi

<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>

Revisi Revisi 905[Daftar Isi]
Bab BAB VI KEMUDAHAN BERUSAHA
Bagian Bagian Ketujuh Perpajakan
Paragraf
Judul Pasal 112
  Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa
kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8


Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069) diubah
sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1A diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 1A

(1) Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang
Kena Pajak adalah:

a. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu
perjanjian;

b. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu
perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna
usaha (leasing);

c. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang
perantara atau melalui juru lelang;

d. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma
atas Barang Kena Pajak;

e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau
aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan;

f. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang
atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena
Pajak antar cabang;

g. dihapus; dan

h. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena
Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang
dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang
penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha
Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang
Kena Pajak.

(2) Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan
Barang Kena Pajak adalah:

a. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang;

b. penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-
piutang;

c. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana
dimaksud pada

ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak
melakukan pemusatan tempat pajak terutang;

d. pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang
Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti
saham dengan syarat pihak yang melakukan


pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah
Pengusaha Kena Pajak; dan

e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang
masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan,
dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak
dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.

2. Ketentuan Pasal 4A diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 4A

(1) Dihapus.

(2) Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai
adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai
berikut:

a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran
yang diambil langsung dari sumbernya, tidak
termasuk hasil pertambangan batu bara;

b. barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan
oleh rakyat banyak;

c. makanan dan minuman yang disajikan di hotel,
restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya,
meliputi makanan dan minuman baik yang
dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk
makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha
jasa boga atau katering; dan

d. uang, emas batangan, dan surat berharga.

(3) Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai
adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai
berikut:

a. jasa pelayanan kesehatan medis;

b. jasa pelayanan sosial;

c. jasa pengiriman surat dengan perangko;

d. jasa keuangan;

e. jasa asuransi;

f. jasa keagamaan;

g. jasa pendidikan;

h. jasa kesenian dan hiburan;

i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;

j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa
angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar
negeri;

k. jasa tenaga kerja;

l. jasa perhotelan;

m.jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka
menjalankan pemerintahan secara umum;

n. jasa penyediaan tempat parkir;


o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;

p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan

q. jasa boga atau katering.

3. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

(1) Dihapus.

(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan
dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.

(2a) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak, Pajak Masukan atas perolehan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang
Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak
Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dapat
dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan
pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini.

(2b) Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan
Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).

(3) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih
besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan
Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh
Pengusaha Kena Pajak.

(4) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran,
selisihnya merupakan kelebihan pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

(4a) Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian
pada akhir tahun buku.

(4b) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak
Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian
pada setiap Masa Pajak oleh:

a. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor
Barang Kena Pajak Berwujud;

b. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;

c. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak
dipungut;

d. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;


e. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa
Kena Pajak; dan/atau

f. dihapus.

(4c) Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang
mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak
berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan
perubahannya.

(4d) Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko
rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c)
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

(4e) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan
terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (4c) dan menerbitkan surat ketetapan pajak
setelah melakukan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak.

(4f) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi
administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan perubahannya.

(5) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak
selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga
melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak,
sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat
diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak
Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang
terutang pajak.

(6) Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak
selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga
melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak,
sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang
terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti,
jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk
penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan
menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.

(6a) Apabila sampai dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun
sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak


Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a)
Pengusaha Kena Pajak belum melakukan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau
ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
terkait dengan Pajak Masukan tersebut, Pajak Masukan
yang telah dikreditkan dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.

(6b) Dihapus.

(6c) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6a)
bagi sektor usaha tertentu dapat ditetapkan lebih dari 3
(tiga) tahun.

(6d) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a)
berlaku juga bagi Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan pembubaran (pengakhiran) usaha,
melakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak, atau
dilakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak secara
jabatan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa
Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan.

(6e) Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6a):

a. wajib dibayar kembali ke kas negara oleh Pengusaha
Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena Pajak:

1. telah menerima pengembalian kelebihan
pembayaran pajak atas Pajak Masukan
dimaksud; dan/atau

2. telah mengkreditkan Pajak Masukan dimaksud
dengan Pajak Keluaran yang terutang dalam
suatu Masa Pajak;

dan/atau

b. tidak dapat dikompensasikan ke Masa Pajak
berikutnya dan tidak dapat diajukan permohonan
pengembalian, setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun
sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berakhir
atau pada saat pembubaran (pengakhiran) usaha,
atau pencabutan Pengusaha Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (6d) oleh
Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena
Pajak melakukan kompensasi atas kelebihan
pembayaran pajak dimaksud.

(6f) Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6e) huruf a dilakukan paling
lambat:

a. akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya
jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud
pada ayat (6a);

b. akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya
jangka waktu bagi sektor usaha tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (6c); atau


c. akhir bulan berikutnya setelah tanggal pembubaran
(pengakhiran) usaha atau pencabutan Pengusaha
Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6d).

(6g) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan
kewajiban pembayaran kembali sesuai dengan jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6f), Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar atas jumlah pajak yang seharusnya
dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6e)
huruf a oleh Pengusaha Kena Pajak ditambah sanksi
administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan perubahannya.

(7) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam

1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.

(7a) Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha
tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.

(7b) Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman
penghitungan pengkreditan Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.

(8) Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran
untuk:

a. dihapus;

b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan
kegiatan usaha;

c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor
berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan
barang dagangan atau disewakan;

d. dihapus:

e. dihapus:

f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau
ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat,
dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena
Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;


g. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (6);

h. dihapus;

i. dihapus; dan

j. dihapus.

(9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum
dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak
yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak
berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah
berakhirnya Masa Pajak saat Faktur Pajak dibuat
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum
ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak serta
memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan
Undang-Undang ini.

(9a) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak,
serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebelum
Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak,
dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan
menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan
sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran
yang seharusnya dipungut.

(9b) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak,
serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang tidak
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak
Pertambahan Nilai yang diberitahukan dan/atau
ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan, dapat
dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sepanjang
memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan
Undang-Undang ini.

(9c) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak,
serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang ditagih
dengan penerbitan ketetapan pajak, dapat dikreditkan
oleh Pengusaha Kena Pajak sebesar jumlah pokok Pajak
Pertambahan Nilai yang tercantum dalam ketetapan
pajak, dengan ketentuan ketetapan pajak dimaksud
telah dilakukan pelunasan dan tidak dilakukan upaya


hukum serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai
dengan Undang-Undang ini.

(10) Dihapus.

(11) Dihapus.

(12) Dihapus.

(13) Ketentuan lebih lanjut mengenai:

a. kriteria belum melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2a);

b. penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan
Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4a), ayat (4b), dan ayat (4c);

c. penentuan sektor usaha tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (6c);

d. tata cara pembayaran kembali Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a; dan

e. tata cara pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (9a), ayat (9b), dan ayat (9c),

diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.

(14) Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam
rangka penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak Masukan
atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum
dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang
mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena
Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur
Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan
Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai
biaya atau dikapitalisasi.

4. Ketentuan Pasal 13 diubah, sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 13

(1) Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak
untuk setiap:

a. penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf
f dan/atau Pasal 16D;

b. penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;

c. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf
g; dan/atau

d. ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf h.

(1a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dibuat pada:


a. saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak;

b. saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan
pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa
Kena Pajak;

c. saat penerimaan pembayaran termin dalam hal
penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau

d. saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.

(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1
(satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang
dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau
penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu)
bulan kalender.

(2a) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus dibuat paling lama pada akhir bulan
penyerahan.

(3) Dihapus.

(4) Dihapus.

(5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan
tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit
memuat:

a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang
menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak;

b. identitas pembeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yang meliputi:

1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak
atau nomor induk kependudukan atau nomor
paspor bagi subjek pajak luar negeri orang
pribadi; atau

2. nama dan alamat, dalam hal pembeli Barang
Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak
merupakan subjek pajak luar negeri badan
atau bukan merupakan subjek pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-
Undang mengenai Pajak Penghasilan;

c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau
Penggantian, dan potongan harga;

d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;

f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur
Pajak; dan

g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani
Faktur Pajak.


(5a) Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran dapat
membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan
keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan
tanda tangan penjual dalam hal melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak kepada pembeli dengan karakteristik konsumen
akhir, yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Menteri Keuangan.

(6) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen
tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan
Faktur Pajak.

(7) Dihapus.

(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan
Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian
Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.

(9) Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan
material.