<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>
Revisi | Revisi 905[Daftar Isi] |
Bab | BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha |
Bagian | Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi |
Paragraf | Paragraf 14 Keagamaan |
Judul | Pasal 68 |
Untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama Pelaku Usaha dalam mendapatkan Perizinan Berusaha dari sektor keagamaan, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah; (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6388) diubah: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 11 dan angka 19 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima bagi orang Islam yang mampu untuk melaksanakan serangkaian ibadah tertentu di Baitullah, masyair, serta tempat, waktu, dan syarat tertentu. 2. Ibadah Umrah adalah berkunjung ke Baitullah di luar musim haji dengan niat melaksanakan umrah yang dilanjutkan dengan melakukan tawaf, sai, dan tahalul. 3. Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, dan pelaporan Ibadah Haji dan Ibadah Umrah. 4. Jemaah Haji adalah warga negara yang beragama Islam dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan Ibadah Haji sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. 5. Jemaah Haji Reguler adalah Jemaah Haji yang menjalankan Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh Menteri. 6. Jemaah Haji Khusus adalah Jemaah Haji yang menjalankan Ibadah Haji yang diselenggarakan oleh penyelenggara Ibadah Haji khusus. 7. Jemaah Umrah adalah seseorang yang melaksanakan Ibadah Umrah. 8. Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh Menteri dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat umum. 9. Petugas Penyelenggara Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat PPIH adalah petugas yang diangkat dan/atau ditetapkan oleh Menteri yang bertugas melakukan pembinaan, pelayanan dan pelindungan, serta pengendalian dan pengoordinasian pelaksanaan operasional Ibadah Haji di dalam negeri dan/atau di Arab Saudi. 10. Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus adalah Penyelenggaraan Ibadah Haji yang dilaksanakan oleh penyelenggara Ibadah Haji khusus dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat khusus. 11. Penyelenggara Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya disingkat PIHK adalah badan hukum yang memiliki Perizinan Berusaha untuk melaksanakan Ibadah Haji khusus. 12. Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang selanjutnya disebut Bipih adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh warga negara yang akan menunaikan Ibadah Haji. 13. Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPIH adalah sejumlah dana yang digunakan untuk operasional Penyelenggaraan Ibadah Haji. 14. Nilai Manfaat adalah dana yang diperoleh dari hasil pengembangan keuangan haji yang dilakukan melalui penempatan dan/atau investasi. 15. Dana Efisiensi adalah dana yang diperoleh dari hasil efisiensi biaya operasional penyelenggaraan Ibadah Haji. 16. Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus yang selanjutnya disebut Bipih Khusus adalah sejumlah uang yang harus dibayar oleh Jemaah Haji yang akan menunaikan Ibadah Haji khusus. 17. Bank Penerima Setoran Biaya Perjalanan Ibadah Haji yang selanjutnya disingkat BPS Bipih adalah bank umum syariah dan/atau unit usaha syariah yang ditunjuk oleh Badan Pengelola Keuangan Haji. 18. Setoran Jemaah adalah sejumlah uang yang diserahkan oleh Jemaah Haji melalui BPS Bipih. 19. Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah yang selanjutnya disingkat PPIU adalah biro perjalanan wisata yang memiliki Perizinan Berusaha untuk menyelenggarakan perjalanan Ibadah Umrah. 20. Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah yang selanjutnya disingkat KBIHU adalah kelompok. 2. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) PIHK yang tidak melaporkan keberangkatan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. teguran lisan; b. teguran tertulis; c. penghentian sementara kegiatan; d. denda administratif; e. paksaan pemerintah; dan/atau f. pencabutan Perizinan Berusaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 3. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari pemerintah Kerajaan Arab Saudi. 4. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58 Untuk mendapatkan Perizinan Berusaha menjadi PIHK, badan hukum harus memenuhi persyaratan: a. dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia yang beragama Islam; b. terdaftar sebagai PPIU yang terakreditasi; c. memiliki kemampuan teknis, kompetensi personalia, dan kemampuan finansial untuk menyelenggarakan Ibadah Haji khusus yang dibuktikan dengan jaminan bank; dan d. memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. 5. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 (1) Pelaksanaan Ibadah Haji khusus dilakukan oleh PIHK setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama PIHK menjalankan kegiatan usaha Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha dalam rangka penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan PIHK dan pembukaan kantor cabang PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63 (1) PIHK wajib: a. memfasilitasi pengurusan dokumen perjalanan Ibadah Haji khusus; b. memberikan bimbingan dan pembinaan Ibadah Haji khusus; c. memberikan pelayanan kesehatan, transportasi, akomodasi, konsumsi, dan pelindungan; d. memberangkatkan, melayani, dan memulangkan Jemaah Haji Khusus sesuai dengan perjanjian; e. memberangkatkan penanggung jawab PIHK, petugas kesehatan, dan pembimbing Ibadah Haji khusus sesuai dengan ketentuan pelayanan haji khusus; f. memfasilitasi pemindahan calon Jemaah Haji Khusus kepada PIHK lain atas permohonan jemaah; dan g. melaporkan pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus kepada Menteri. (2) PIHK yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. denda administratif; c. pembekuan Perizinan Berusaha; atau d. pencabutan Perizinan Berusaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 83 (1) Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap PIHK paling lama 60 (enam puluh) Hari terhitung sejak selesainya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus. (2) Hasil pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada DPR RI. 9. Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan dan evaluasi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85 (1) Pemerintah Pusat melaksanakan akreditasi PIHK. (2) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menilai kinerja dan kualitas pelayanan PIHK. (3) Pemerintah Pusat menetapkan standar akreditasi PIHK. (4) Pemerintah Pusat memublikasikan hasil akreditasi PIHK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masyarakat secara elektronik dan/atau nonelektronik. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi PIHK diatur dengan Peraturan Pemerintah. 11. Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89 (1) Untuk mendapatkan Perizinan Berusaha menjadi PPIU, biro perjalanan wisata harus dimiliki dan dikelola oleh warga negara Indonesia beragama Islam dan memenuhi persyaratan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90 (1) Pelaksanaan Ibadah Umrah dilakukan oleh PPIU setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama PPIU menjalankan kegiatan usaha penyelenggaraan Ibadah Umrah. 13. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91 (1) PPIU dapat membuka kantor cabang PPIU di luar domisili perusahaan. (2) Pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat. 14. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92 Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha dan pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 90, dan Pasal 91 diatur dengan Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94 (1) PPIU wajib: a. menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang pembimbing ibadah setiap 45 (empat puluh lima) orang Jemaah Umrah; b. memberikan pelayanan dokumen perjalanan, akomodasi, konsumsi, dan transportasi kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara PPIU dan Jemaah Umrah; c. memiliki perjanjian kerjasama dengan fasilitas pelayanan kesehatan di Arab Saudi; d. memberangkatkan dan memulangkan Jemaah Umrah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi; e. menyampaikan rencana perjalanan umrah kepada Menteri secara tertulis sebelum keberangkatan; f. melapor kepada Perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia. g. membuat laporan kepada Menteri paling lambat 10 (sepuluh) Hari setelah tiba kembali di tanah air; h. memberangkatkan Jemaah Umrah yang terdaftar pada tahun hijriah berjalan; i. mengikuti standar pelayanan minimal dan harga referensi; j. mengikuti prinsip syariat; dan k. membuka rekening penampungan yang digunakan untuk menampung dana jamaah untuk kegiatan umrah. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai rekening penampungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k diatur dengan Peraturan Pemerintah. 16. Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95 (1) PPIU yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. denda administratif; c. pembekuan Perizinan Berusaha; atau d. pencabutan Perizinan Berusaha. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 17. Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99 (1) Pemerintah Pusat mengawasi dan mengevaluasi penyelenggaraan Ibadah Umrah. (2) Pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh aparatur Pemerintah Pusat terhadap pelaksanaan, pembinaan, pelayanan, dan pelindungan yang dilakukan oleh PPIU kepada Jemaah Umrah. (3) Dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah, Pemerintah Pusat dapat membentuk tim koordinasi pencegahan, pengawasan, dan penindakan permasalahan penyelenggaraan Ibadah Umrah. 18. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101 (1) Hasil pengawasan dan evaluasi pelaksanaan Ibadah Umrah digunakan sebagai dasar akreditasi dan pengenaan sanksi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dan evaluasi diatur dengan Peraturan Pemerintah. 19. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 103 Pemerintah Pusat menetapkan standar akreditasi PPIU. 20. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104 (1) Pemerintah Pusat melakukan akreditasi PPIU. (2) Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menilai kinerja dan kualitas pelayanan PPIU. (3) Akreditasi terhadap PPIU dilakukan setiap 5 (lima) tahun. 21. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106 Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi terhadap PPIU diatur dengan Peraturan Pemerintah. 22. Di antara Pasal 118 dan Pasal 119 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 118A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 118A (1) PIHK yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Haji Khusus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dapat berupa: a. penghentian sementara kegiatan; b. denda administratif; c. paksaan pemerintah; d. pembekuan perizinan berusaha; dan/atau e. pencabutan perizinan berusaha. (3) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi berupa kewajiban untuk mengembalikan biaya sejumlah yang telah disetorkan oleh Jemaah Haji Khusus serta kerugian immateril lainnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 23. Di antara Pasal 119 dan Pasal 120 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 119A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 119A (1) PPIU yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dapat berupa: a. penghentian sementara kegiatan; b. denda administratif; c. paksaan pemerintah; d. pembekuan perizinan berusaha; dan/atau e. pencabutan perizinan berusaha. (3) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi berupa kewajiban untuk mengembalikan biaya sejumlah yang telah disetorkan oleh Jemaah Umroh serta kerugian immateril lainnya. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 24. Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 125 Dalam hal PIHK yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118A dalam waktu paling lama 5 (lima) hari tidak memulangkan Jemaah Haji Khusus ke tanah air, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 25. Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 126 Dalam hal PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119A dalam waktu paling lama 5 (lima) hari tidak memulangkan Jemaah Umroh ke tanah air, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |