Isi

<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>

Revisi Revisi 905[Daftar Isi]
Bab BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha
Bagian Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi
Paragraf Paragraf 4 Kehutanan
Judul Pasal 36
  Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana diubah dengan Undan-
Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4374)diubah:

1. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 15

(1) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dilakukan melalui proses:

a. penunjukan kawasan hutan;

b. penataan batas kawasan hutan;

c. pemetaan kawasan hutan; dan

d. penetapan kawasan hutan.

(2) Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan
rencana tata ruang wilayah.

(3) Pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat
geografis atau satelit.

(4) Pemerintah Pusat memprioritaskan percepatan
pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pada daerah yang strategis.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai prioritas percepatan
pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 18

(1) Pemerintah Pusat menetapkan dan mempertahankan
kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan
untuk setiap daerah aliran sungai, dan/atau pulau
guna optimalisasi manfaat lingkungan, manfaat sosial,
dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.


(2) Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus
dipertahankan sesuai kondisi fisik dan geografis DAS
dan/atau pulau.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan
yang harus dipertahankan termasuk pada wilayah yang
terdapat proyek strategis nasional diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

3. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 19

(1) Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan
mempertimbangkan hasil penelitian terpadu.

(2) Ketentuan mengenai tata cara perubahan peruntukan
kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 26

(1) Pemanfaatan Hutan Lindung dapat berupa
pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan,
dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.

(2) Pemanfaatan hutan lindung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan pemberian Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.

5. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 27

Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (2) dapat diberikan kepada:

a. perorangan;

b. koperasi;

c. badan usaha milik negara, atau

d. badan usaha milik daerah.

e. badan usaha milik swasta;


6. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 28

(1) Pemanfaatan Hutan Produksi dapat berupa pemanfaatan
kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan
hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan
hasil hutan kayu dan bukan kayu.

(2) Pemanfaatan Hutan Produksi sebagaimana dimaksud
ayat (1) dengan pemberian Perizinan Berusaha dari
Pemerintah Pusat.

7. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 29

Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (2) dapat diberikan kepada:

a. perseorangan;

b. koperasi;

c. badan usaha milik negara;

d. badan usaha milik daerah; atau

e. badan usaha milik swasta.

8. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 2 (dua) pasal
yakni Pasal 29A dan Pasal 29B yang berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 29A

(1) Pemanfaatan Hutan Lindung dan Hutan Produksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 28
dapat dilakukan kegiatan Perhutanan sosial.

(2) Perhutanan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diberikan kepada:

a. perseorangan;

b. kelompok tani hutan; dan

c. koperasi.

Pasal 29B

Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
Pemanfaatan Hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur
dalam Peraturan Pemerintah.


9. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 30

Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan
badan usaha milik swasta yang memperoleh Perizinan
Berusaha pemanfaatan hutan, wajib bekerja sama dengan
koperasi masyarakat setempat.

10. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 31

(1) Untuk menjamin asas keadilan, pemerataan, dan
lestari, Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan
dibatasi dengan mempertimbangkan aspek kelestarian
hutan dan aspek kepastian usaha.

(2) Ketentuan mengenai Pembatasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

11. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 32

Pemegang Perizinan Berusaha berkewajiban untuk menjaga,
memelihara dan melestarikan hutan tempat usahanya.

12. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 33

(1) Usaha pemanfaatan hasil hutan meliputi kegiatan
penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan,
dan pemasaran hasil hutan.

(2) Pemanenan dan pengolahan hasil hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya
dukung hutan secara lestari.

(3) Ketentuan mengenai pembinaan dan pengembangan
pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.


13. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 35

(1) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait
pemanfaatan hutan dikenakan penerimaan negara
bukan pajak dibidang kehutanan.

(2) Penerimaan negara bukan pajak dibidang kehutanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berasal dari
dana reboisasi hanya dipergunakan untuk kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan.

(3) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait
pemanfaatan hutan wajib menyediakan dana investasi
untuk biaya pelestarian hutan.

(4) Setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait
pemungutan hasil hutan hanya dikenakan penerimaan
negara bukan pajak berupa provisi dibidang
kehutanan.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat

(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

14. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 38

(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan
pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat
dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan
kawasan hutan lindung.

(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi
pokok kawasan hutan.

(3) Penggunaan kawasan hutan dilakukan melalui pinjam
pakai oleh Pemerintah Pusat dengan
mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu
tertentu serta kelestarian lingkungan.

(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan
penambangan dengan pola pertambangan terbuka.


15. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 48

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat, mengatur perlindungan hutan, baik di dalam
maupun di luar kawasan hutan.

(2) Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan
oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.

(3) Pemegang Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan
hutan serta pihak-pihak yang menerima wewenang
pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34, diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya.

(4) Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh
pemegang haknya.

(5) Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan
yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam
upaya perlindungan hutan.

(6) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

16. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 49

(1) Pemegang hak atau Perizinan Berusaha wajib
melakukan upaya pencegahan kebakaran hutan di
areal kerjanya.

(2) Pemegang hak atau Perizinan Berusaha
bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan di
areal kerjanya.

17. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 50

(1) Setiap orang yang diberikan Perizinan Berusaha di
kawasan hutan dilarang melakukan kegiatan yang
menimbulkan kerusakan hutan.


(2) Setiap orang dilarang:

a. mengerjakan, menggunakan, dan/atau menduduki
kawasan hutan secara tidak sah;

b. membakar hutan;

c. memanen atau memungut hasil hutan di dalam
hutan tanpa memiliki hak atau persetujuan dari
pejabat yang berwenang;

d. menyimpan hasil hutan yang diketahui atau patut
diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil
atau dipungut secara tidak sah;

e. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan
yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud
tersebut oleh pejabat yang berwenang;

f. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan
kebakaran dan kerusakan serta membahayakan
keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke
dalam kawasan hutan; dan

g. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut
tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak
dilindungi undang-undang yang berasal dari
kawasan hutan tanpa persetujuan pejabat yang
berwenang.

(3) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan/atau
mengangkut tumbuhan dan/atau satwa yang
dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

18. Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 50A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50A

(1) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 ayat (2) huruf c, huruf d dan/atau huruf e
dilakukan oleh orang perseorangan atau kelompok
masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau
di sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun
secara terus menerus dikenai Sanksi Administratif.

(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dikecualikan terhadap:

a. orang perseorangan atau kelompok masyarakat
yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di
sekitar kawasan hutan paling singkat 5 (lima)
tahun secara terus-menerus terdaftar dalam
kebijakan penataan Kawasan Hutan; atau


b. orang perseorangan yang telah mendapatkan
sanksi sosial atau sanksi adat.

19. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 78

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling lama

10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (2) huruf a, diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus
juta rupiah).

(3) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (2) huruf b, diancam dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling
banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus
juta rupiah).

(4) Setiap orang yang karena kelalaiannya melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (2) huruf b, diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp. Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta
rupiah).

(5) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (2) huruf c, diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta
rupiah).

(6) Setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (2) huruf d, dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp
3.500.000.000,00 (tiga miliar lima ratus juta rupiah).

(7) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4),
diancam dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta
rupiah).


(8) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
e, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah).

(9) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
f, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp2.000. 000.000,00
(dua miliar rupiah).

(10) Setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf
g, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

(11) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (1) dan ayat (2) apabila dilakukan oleh dan/atau
atas nama korporasi, selain pengenaan sanksi pidana
terhadap pengurusnya juga dikenakan terhadap
korporasi dengan pemberatan 1/3 (sepertiga) dari
denda pidana pokok.

(12) Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan
pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat
angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan
kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.

20. Ketentuan Pasal 80 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 80

(1) Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam
undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi
pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78,
mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu
untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat
kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada
Negara, untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi
hutan, atau tindakan lain yang diperlukan.

(2) Setiap pemegang Perizinan Berusaha pemanfaatan
hutan yang diatur dalam Undang-Undang ini, apabila
melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi
administratif.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara


pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.