Isi

<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>

Revisi Revisi 905[Daftar Isi]
Bab BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha
Bagian Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi
Paragraf Paragraf 3 Pertanian
Judul Pasal 34
  Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5619) diubah:

1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 6

(1) Lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan
penggembalaan umum harus dipertahankan
keberadaan dan kemanfaatannya secara berkelanjutan.

(2) Kawasan penggembalaan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai:

a. penghasil tumbuhan pakan;

b. tempat perkawinan alami, seleksi, kastrasi, dan
pelayanan inseminasi buatan;

c. tempat pelayanan kesehatan hewan; dan/atau

d. tempat atau objek penelitian dan pengembangan
teknologi peternakan dan kesehatan hewan.

(3) Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di daerahnya
mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan
memprioritaskan budi daya Ternak skala kecil
diwajibkan menetapkan lahan sebagai kawasan
penggembalaan umum.

(4) Pemerintah daerah kabupaten/kota membina bentuk
kerja sama antara pengusahaan peternakan dan
pengusahaan tanaman pangan, hortikultura,
perikanan, perkebunan, dan kehutanan serta bidang
lainnya dalam memanfaatkan lahan di kawasan
tersebut sebagai sumber pakan Ternak murah.

(5) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak
menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Pemerintah Pusat dapat menetapkan lahan sebagai
kawasan penggembalaan umum.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan
pengelolaan kawasan penggembalaan umum


sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.

2. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 13

(1) Penyediaan dan pengembangan Benih dan/atau Bibit
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan penyediaan
Benih dan/atau Bibit.

(2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya berkewajiban untuk
melakukan pengembangan usaha pembenihan
dan/atau pembibitan dengan melibatkan peran serta
masyarakat untuk menjamin ketersediaan Benih, Bibit,
dan/atau bakalan.

(3) Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan
oleh masyarakat belum berkembang, Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah membentuk unit pembenihan
dan/atau pembibitan.

(4) Setiap Benih atau Bibit yang beredar wajib memiliki
sertifikat layak Benih atau Bibit yang memuat
keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulan
tertentu.

(5) Sertifikat layak Benih atau Bibit sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan oleh lembaga
sertifikasi Benih atau Bibit yang terakreditasi.

(6) Setiap orang dilarang mengedarkan Benih atau Bibit
yang tidak memenuhi kewajiban sertifikat benih
sebagaimana dimaksud pada ayat (5).

3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 15

(1) Pemasukan Benih dan/atau Bibit dari luar negeri ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dapat dilakukan untuk:

a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik;

b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi;

c. mengatasi kekurangan Benih dan/ atau Bibit di
dalam negeri; dan/atau

d. memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan.


(2) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Benih
dan/atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

4. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 16

(1) Pengeluaran Benih dan/ atau Bibit dari wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat
dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah
terpenuhi dan kelestarian Ternak lokal terjamin.

(2) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang dilakukan terhadap Benih dan/atau Bibit yang
terbaik di dalam negeri.

(3) Setiap Orang yang melakukan kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Peizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

5. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 22

(1) Setiap orang yang memproduksi pakan dan/atau
bahan pakan untuk diedarkan secara komersial wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

(2) Pakan yang dibuat untuk diedarkan secara komersial
harus memenuhi standar atau persyaratan teknis
minimal dan keamanan pakan serta memenuhi
ketentuan cara pembuatan pakan yang baik yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
berlabel sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

(4) Setiap orang dilarang:

a. mengedarkan pakan yang tidak layak dikonsumsi;


b. menggunakan dan/atau mengedarkan pakan
Ruminansia yang mengandung bahan pakan yang
berupa darah, daging, dan/atau tulang; dan/atau

c. menggunakan pakan yang dicampur hormon
tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan.

(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah.

6. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 29

(1) Budi Daya Ternak hanya dapat dilakukan oleh
peternak, perusahaan peternakan, serta pihak tertentu
untuk kepentingan khusus.

(2) Peternak yang melakukan budi daya Ternak dengan
jenis dan jumlah Ternak di bawah skala usaha tertentu
diberikan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerinath
Pusat.

(3) Perusahaan peternakan yang melakukan budi daya
ternak dengan jenis dan jumlah Ternak di atas skala
usaha tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha
oleh Pemerintah Pusat.

(4) Peternak, perusahaan peternakan, dan pihak tertentu
yang mengusahakan Ternak dengan skala usaha
tertentu wajib mengikuti tata cara budi daya Ternak
yang baik dengan tidak mengganggu ketertiban umum
sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat.

(5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya berkewajiban untuk
melindungi usaha peternakan dalam negeri dari
persaingan tidak sehat di antara pelaku usaha.

7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 30

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat, mengembangkan Usaha Budi Daya melalui


penanaman modal oleh perorangan warga negara
Indonesia atau korporasi yang berbadan hukum.

(2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang penanaman
modal.

8. Ketentuan Pasal 36B diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 36B

(1) Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dengan
memperhatikan kepentingan peternak.

(2) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

(3) Pemasukan Ternak dari luar negeri harus:

a. memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan;

b. bebas dari Penyakit Hewan Menular yang
dipersyaratkan oleh Otoritas Veteriner; dan

c. memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang Karantina Hewan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak
dan Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

9. Ketentuan Pasal 36C diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 36C

(1) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat
berasal dari suatu negara yang telah memenuhi
persyaratan dan tata cara pemasukannya.

(2) Persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak
Ruminansia indukan dari luar negeri ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan
berdasarkan analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan
oleh Otoritas Veteriner dengan memperhatikan
kepentingan peternak.

(3) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal
dari zona sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain


harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) juga harus terlebih dahulu:

a. dinyatakan bebas Penyakit Hewan Menular di
negara asal oleh otoritas veteriner negara asal
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan
kesehatan hewan dunia dan diakui oleh Otoritas
Veteriner Indonesia;

b. dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan
surveilan di dalam negeri; dan

c. ditetapkan tempat pemasukan tertentu.

(4) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak
Ruminansia Indukan sebagaimana dimaksud pada ayat

(l) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak
Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan Perizinan Berusaha
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

10. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 37

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, membina
dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan
Produk Hewan.

11. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 52

(1) Setiap orang yang berusaha di bidang pembuatan,
penyediaan, dan/atau peredaran obat hewan wajib
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

(2) Setiap orang dilarang membuat, menyediakan,
dan/atau mengedarkan obat hewan yang:

a. berupa sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada
di Indonesia;

b. tidak memiliki nomor pendaftaran;


c. tidak diberi label dan tanda; dan

d. tidak memenuhi standar mutu.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

12. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 54

(1) Penyediaan obat hewan dapat berasal dari produksi
dalam negeri atau dari luar negeri.

(2) Pengeluaran obat hewan produksi dalam negeri ke luar
negeri harus sesuai standar.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan
pengeluaran obat hewan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

13. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 59

(1) Setiap Orang yang akan memasukkan Produk Hewan
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.

(2) Persyaratan dan tata cara pemasukan Produk Hewan
dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) mengacu pada ketentuan yang berbasis analisis
risiko di bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan
Masyarakat Veteriner.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

14. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 60

(1) Setiap orang yang mempunyai unit usaha Produk
Hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha berupa
nomor kontrol veteriner dari Pemerintah Daerah


Provinsi sesuai dengan kewenanganya berdasarkan
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat.

(2) Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan
pembinaan unit usaha yang memproduksi dan/atau
mengedarkan produk hewan yang dihasilkan oleh unit
usaha skala rumah tangga yang belum memenuhi
persyaratan nomor kontrol veteriner.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

15. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 62

(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki
rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan
teknis.

(2) Rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat diusahakan oleh setiap orang setelah
memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

(3) Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus dilakukan di bawah pengawasan
dokter hewan berwenang di bidang pengawasan
kesehatan masyarakat veteriner.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
rumah potong sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

16. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 69

(1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa
laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium
pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan jasa
medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat
kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan.

(2) Setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan
kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah
Pusat.


(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

17. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 72

(1) Tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan
kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha
dari Pemerintah Pusat.

(2) Tenaga asing kesehatan hewan dapat melakukan
praktik pelayanan kesehatan hewan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan perjanjian
bilateral atau multilateral antara pihak Indonesia dan
negara atau lembaga asing sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

18. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 85

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1),
Pasal 13 ayat (4), Pasal 15 ayat (2), Pasal 18 ayat (2),
Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal
23, Pasal 24 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 29 ayat
(3), Pasal 42 ayat (5), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (2)
atau ayat (3), Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (2), Pasal
52 ayat (1), Pasal 53 ayat (2), Pasal 58 ayat (5), Pasal 59
ayat (1), Pasal 61 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 62 ayat

(2) atau ayat (3), Pasal 69 ayat (2), Pasal 72 ayat (1),
atau Pasal 80 ayat (1) dikenai sanksi administratif.

(2) Sanksi admistratif sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dapat berupa :

a. peringatan secara tertulis;

b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
dan/atau peredaran;

c. pencabutan Perizinan Berusaha dan penarikan
obat hewan, pakan, alat dan mesin, atau produk
hewan dari peredaran;

d. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau


e. pengenaan denda.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

19. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 88

Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan
alat dan mesin yang belum diuji sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (3) yang mengakibatkan rusaknya
fungsi lingkungan atau membahayakan nyawa orang,
dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga)
bulan dan paling lama 11 (sebelas) bulan dan denda paling
sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).