Isi

<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>

Revisi Revisi 905[Daftar Isi]
Bab BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha
Bagian Bagian Ketiga Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha dan Pengadaan Lahan
Paragraf Paragraf 2 Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
Judul Pasal 18
  Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5490) diubah:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 14 dan angka 17 diubah, angka 18 dan angka 18A dihapus, serta di antara angka 14 dan angka 15, disisipkan 1 (satu) angka yaitu angka 14A sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Wilayah Pesisir adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
3. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 Km2 (dua ribu kilo meter persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.
4. Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.
5. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.
6. Bioekoregion adalah bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang ditetapkan oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus.
7. Perairan Pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna.
8. Kawasan adalah bagian Wilayah Pesisir dan PulauĀ¬Pulau Kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
9. Kawasan Pemanfaatan Umum adalah bagian dari Wilayah Pesisir yang ditetapkan peruntukkannya bagi berbagai sektor kegiatan.
10. Kawasan Strategis Nasional Tertentu adalah Kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional.
11. Zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya.
12. Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam Ekosistem pesisir.
13. Rencana Strategis adalah rencana yang memuat arah kebijakan lintas sektor untuk Kawasan perencanaan pembangunan melalui penetapan tujuan, sasaran dan strategi yang luas, serta target pelaksanaan dengan indikator yang tepat untuk memantau rencana tingkat nasional.
14. Rencana Zonasi yang selanjutnya disingkat RZ adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya setiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Laut.
14A. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu yang selanjutnya disingkat RZ KSNT adalah rencana yang disusun untuk menentukan arahan pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional tertentu.
15. Rencana Pengelolaan adalah rencana yang memuat susunan kerangka kebijakan, prosedur, dan tanggung jawab dalam rangka pengoordinasian pengambilan keputusan di antara berbagai lembaga/instansi pemerintah mengenai kesepakatan penggunaan sumber daya atau kegiatan pembangunan di zona yang ditetapkan.
16. Rencana Aksi Pengelolaan adalah tindak lanjut rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap Kawasan perencanaan.
17. Dihapus.
18. Dihapus.
18A. Dihapus.
19. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya pelindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.
20. Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kawasan pesisir dan pulaupulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.
21. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
22. Rehabilitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah proses pemulihan dan perbaikan kondisi Ekosistem atau populasi yang telah rusak walaupun hasilnya berbeda dari kondisi semula.
23. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh Setiap Orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase.
24. Daya Dukung Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah kemampuan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain.
25. Mitigasi Bencana adalah upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami dan/atau buatan maupun nonstruktur atau nonfisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
26. Bencana Pesisir adalah kejadian karena peristiwa alam atau karena perbuatan Setiap Orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati Pesisir dan mengakibatkan korban jiwa, harta, dan/atau kerusakan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
27. Dampak Besar adalah terjadinya perubahan negatif fungsi lingkungan dalam skala yang luas dan intensitas lama yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan di Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil.
27A. Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
28. Pencemaran Pesisir adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan Pesisir akibat adanya kegiatan Setiap Orang sehingga kualitas Pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan Pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
29. Akreditasi adalah prosedur pengakuan suatu kegiatan yang secara konsisten telah memenuhi standar baku sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi penilaian, penghargaan, dan insentif terhadap program pengelolaan yang dilakukan oleh Masyarakat secara sukarela.
30. Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudi daya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat.
31. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya pemberian fasilitas, dorongan, atau bantuan kepada Masyarakat dan nelayan tradisional agar mampu menentukan pilihan yang terbaik dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara lestari.
32. Masyarakat adalah masyarakat yang terdiri atas Masyarakat Hukum Adat, Masyarakat Lokal, dan Masyarakat Tradisional yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
33. Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
34. Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu.
35. Masyarakat Tradisional adalah Masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.
36. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan Masyarakat.
37. Gugatan Perwakilan adalah gugatan yang berupa hak kelompok kecil Masyarakat untuk bertindak mewakili Masyarakat dalam jumlah besar dalam upaya mengajukan tuntutan berdasarkan kesamaan permasalahan, fakta hukum, dan tuntutan ganti kerugian.
38. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
39. Dewan Perwakilan Rakyat, selanjutnya disebut DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
40. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
41. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
42. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
43. Mitra Bahari adalah jejaring pemangku kepentingan di bidang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dalam penguatan kapasitas sumber daya manusia, lembaga, pendidikan, penyuluhan, pendampingan, pelatihan, penelitian terapan, dan pengembangan rekomendasi kebijakan.
44. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, terdiri atas:
a. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut dengan RZWP-3-K;
b. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional yang selanjutnya disebut dengan RZ KSN; dan
c. Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu yang selanjutnya disebut dengan RZ KSNT.
(2) Batas wilayah perencanaan RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Jangka waktu berlakunya Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.
(4) Peninjauan kembali Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
a. bencana alam yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang undangan;
b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan undang-undang;
c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan undang-undang; dan
d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
(5) RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
(6) Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan masyarakat.
3. Di antara Pasal 7 dan 8 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni:
a. Pasal 7A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7A
(1) RZWP-3-K sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
(2) RZ KSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
(3) RZ KSNT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan rencana tata ruang, rencana zonasi kawasan antarwilayah, dan rencana tata ruang laut.
(4) Dalam hal RZWP-3-K sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah ditetapkan, pengintegrasian dilakukan pada saat peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi.
(5) Dalam hal RZ KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah ditetapkan, pengintegrasian dilakukan pada saat peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional.
b. Pasal 7B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7B
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan;
b. keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
c. kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses Masyarakat dalam pemanfaatan ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.
c. Pasal 7C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7C
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 7A, dan Pasal 7B diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Ketentuan Pasal 8 dihapus.
5. Ketentuan Pasal 9 dihapus.
6. Ketentuan Pasal 10 dihapus.
7. Ketentuan Pasal 11 dihapus.
8. Ketentuan Pasal 12 dihapus.
9. Ketentuan Pasal 13 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 14 dihapus.
11. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) Pemanfaatan ruang dari Perairan Pesisir wajib sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi.
(2) Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari Perairan Pesisir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut dari Pemerintah Pusat.
12. Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan satu pasal yakni Pasal 16A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16A
Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari perairan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), dikenai sanksi administratif.
13. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Pemberian Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 wajib mempertimbangkan kelestarian Ekosistem perairan pesisir, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.
(2) Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi.
14. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 17A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17A
(1) Dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat strategis yang belum terdapat dalam alokasi ruang dan/atau pola ruang dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional dan/atau rencana tata ruang laut.
(2) Dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat strategis tetapi rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi belum ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional dan/atau rencana tata ruang laut.
(3) Dalam hal terdapat perubahan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang menjadi acuan dalam penetapan lokasi untuk kebijakan nasional yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), lokasi untuk kebijakan nasional yang bersifat strategis tersebut dalam rencana tata ruang laut dan/atau rencana zonasi dilaksanakan sesuai dengan perubahan ketentuan peraturan perundang-undangan.
15. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
Dalam hal pemegang Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut diterbitkan, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan perizinan berusahanya.
16. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
(1) Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil untuk kegiatan:
a. produksi garam;
b. biofarmakologi laut;
c. bioteknologi laut;
d. pemanfaatan air laut selain energi;
e. wisata bahari;
f. pemasangan pipa dan kabel bawah laut; dan/atau
g. pengangkatan benda muatan kapal tenggelam, wajib memiliki Perizinan Berusaha.
(2) Perizinan Berusaha untuk kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal terdapat kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang belum diatur berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
17. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Pemerintah Pusat wajib memfasilitasi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional.
(2) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Masyarakat Lokal dan Masyarakat Tradisional, yang melakukan pemanfaatan sumber daya perairan pesisir, untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
18. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dikecualikan bagi Masyarakat Hukum Adat di wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat.
(2) Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pengakuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
19. Ketentuan Pasal 22A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22A
(1) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diberikan kepada:
a. orang perseorangan warga negara Indonesia;
b. korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia;
c. koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat; atau
d. Masyarakat Lokal.
(2) Pemanfaatan ruang perairan pesisir yang dilakukan oleh instansi pemerintah dan tidak termasuk dalam kebijakan nasional yang bersifat strategis diberikan dalam bentuk konfirmasi kesesuaian ruang laut.
20. Ketentuan Pasal 22B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22B
Orang perseorangan warga Negara Indonesia atau korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan pemanfaatan laut wajib memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di laut dari Pemerintah Pusat.
21. Ketentuan Pasal 22C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22C
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di laut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
22. Ketentuan Pasal 26A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26A
Dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
23. Di antara Pasal 26A dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 26B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26B
Setiap Orang yang tidak memiliki Perizinan Berusaha dalam memanfaatkan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan disekitarnya dalam rangka penanaman modal asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A ayat (1) dikenai sanksi administratif.
24. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya memberikan dan mencabut Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut di wilayah Perairan Pesisir.
25. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 51
(1) Pemerintah Pusat berwenang menetapkan perubahan status zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan status zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
26. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 60
(1) Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, Masyarakat mempunyai hak untuk:
a. memperoleh akses terhadap bagian Perairan Pesisir yang sudah mendapat Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut;
b. mengusulkan wilayah penangkapan ikan secara tradisional ke dalam RZWP-3-K;
c. mengusulkan wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat ke dalam RZWP-3-K;
d. melakukan kegiatan pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. memperoleh manfaat atas pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
f. memperoleh informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
g. mengajukan laporan dan pengaduan kepada pihak yang berwenang atas kerugian yang menimpa dirinya yang berkaitan dengan pelaksanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
h. menyatakan keberatan terhadap rencana pengelolaan yang sudah diumumkan dalam jangka waktu tertentu;
i. melaporkan kepada penegak hukum akibat dugaan pencemaran, pencemaran, dan/atau perusakan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
j. mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap berbagai masalah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang merugikan kehidupannya;
k. memperoleh ganti rugi; dan
l. mendapat pendampingan dan bantuan hukum terhadap permasalahan yang dihadapi dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Masyarakat dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berkewajiban:
a. memberikan informasi berkenaan dengan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
b. menjaga, melindungi, dan memelihara kelestarian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
c. menyampaikan laporan terjadinya bahaya, pencemaran, dan/atau kerusakan lingkungan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
d. memantau pelaksanaan rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan/atau
e. melaksanakan program Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang disepakati di tingkat desa.
27. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 71
Pemanfaatan ruang perairan dan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
28. Di antara Pasal 71 dan 72 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 71A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 71A
(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16A, Pasal 26B, dan Pasal 71 dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penutupan lokasi;
d. pencabutan Perizinan Berusaha;
e. pembatalan Perizinan Berusaha; dan/ atau
f. denda administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
29. Di antara Pasal 73 dan 74 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 73A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 73A
Setiap Orang yang memanfaatkan pulau kecil dalam rangka penanaman modal asing yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A ayat (1) yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
30. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 75
Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari perairan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang,, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
31. Ketentuan Pasal 75A dihapus.
32. Ketentuan Pasal 78A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 78A
Kawasan konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan sebelum Undang-Undang tentang Cipta Kerja ini berlaku adalah menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.