<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>
Revisi | Revisi 812[Daftar Isi] |
Bab | BAB III PENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI DAN KEGIATAN BERUSAHA |
Bagian | Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi |
Paragraf | Paragraf 3 Pertanian |
Judul | Pasal 34 |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5619) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Lahan yang telah ditetapkan sebagai kawasan penggembalaan umum harus dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara berkelanjutan. (2) Kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai: a. penghasil tumbuhan pakan; b. tempat perkawinan alami, seleksi, kastrasi, dan pelayanan inseminasi buatan; c. tempat pelayanan kesehatan hewan; dan/atau d. tempat atau objek penelitian dan pengembangan teknologi peternakan dan kesehatan hewan. (3) Pemerintah daerah kabupaten/kota yang di daerahnya mempunyai persediaan lahan yang memungkinkan dan memprioritaskan budi daya Ternak skala kecil wajib menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum. (4) Pemerintah daerah kabupaten/kota membina bentuk kerja sama antara pengusahaan peternakan dan pengusahaan tanaman pangan, hortikultura, perikanan, perkebunan, dan kehutanan serta bidang lainnya dalam memanfaatkan lahan di kawasan tersebut sebagai sumber pakan Ternak murah. (5) Dalam hal pemerintah daerah kabupaten/kota tidak menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Pusat dapat menetapkan lahan sebagai kawasan penggembalaan umum. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pengelolaan kawasan penggembalaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 2. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Penyediaan dan pengembangan Benih dan/atau Bibit dilakukan dengan memperhatikan keberlanjutan pengembangan usaha Peternak mikro, kecil, dan menengah. (2) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib untuk melakukan pengembangan usaha pembenihan dan/atau pembibitan dengan melibatkan peran serta masyarakat untuk menjamin ketersediaan Benih, Bibit, dan/atau bakalan. (3) Dalam hal usaha pembenihan dan/atau pembibitan oleh masyarakat belum berkembang, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membentuk unit pembenihan dan/atau pembibitan. (4) Setiap Benih atau Bibit yang beredar wajib memiliki sertifikat layak Benih atau Bibit yang memuat keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulan tertentu. (5) Sertifikat layak Benih atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi Benih atau Bibit yang terakreditasi. (6) Setiap orang dilarang mengedarkan Benih atau Bibit yang tidak memenuhi kewajiban sertifikat Layak Benih atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (5). 3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Pemasukan Benih dan/atau Bibit dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dilakukan untuk: a. meningkatkan mutu dan keragaman genetik; b. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; c. mengatasi kekurangan Benih dan/atau Bibit di dalam negeri; dan/atau d. memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan. (2) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Benih dan/atau Bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 4. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16 (1) Pengeluaran Benih dan/ atau Bibit dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan apabila kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi dan kelestarian Ternak lokal terjamin. (2) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan terhadap Benih dan/atau Bibit yang terbaik di dalam negeri. (3) Setiap Orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Peizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 5. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Setiap orang yang memproduksi pakan dan/atau bahan pakan untuk diedarkan secara komersial wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Pakan yang dibuat untuk diedarkan secara komersial harus memenuhi standar atau persyaratan teknis minimal dan keamanan pakan serta memenuhi ketentuan cara pembuatan pakan yang baik yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (3) Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus berlabel sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Setiap orang dilarang: a. mengedarkan pakan yang tidak layak dikonsumsi; b. menggunakan dan/atau mengedarkan pakan Ruminansia yang mengandung bahan pakan yang berupa darah, daging, dan/atau tulang; dan/atau c. menggunakan pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan pakan yang dicampur hormone tertentu dan/atau antibiotic imbuhan pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c diatur dalam Peraturan Pemerintah. 6. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29 (1) Budi Daya Ternak hanya dapat dilakukan oleh peternak, perusahaan peternakan, serta pihak tertentu untuk kepentingan khusus. (2) Peternak yang melakukan budi daya Ternak dengan jenis dan jumlah Ternak di bawah skala usaha tertentu diberikan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (3) Perusahaan peternakan yang melakukan budi daya ternak dengan jenis dan jumlah Ternak di atas skala usaha tertentu wajib memenuhi Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Pusat. (4) Peternak, perusahaan peternakan, dan pihak tertentu yang mengusahakan Ternak dengan skala usaha tertentu wajib mengikuti tata cara budi daya Ternak yang baik dengan tidak mengganggu ketertiban umum sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib untuk melindungi usaha peternakan dalam negeri dari persaingan tidak sehat diantara pelaku usaha. 7. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat mengembangkan Usaha Budi Daya melalui penanaman modal oleh perseorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang berbadan hukum. (2) Pelaksanaan penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. 8. Ketentuan Pasal 36B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36B (1) Pemasukan Ternak dan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dengan memperhatikan kepentingan peternak. (2) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Pemasukan Ternak dari luar negeri harus: a. memenuhi persyaratan teknis Kesehatan Hewan; b. bebas dari Penyakit Hewan Menular yang dipersyaratkan oleh Otoritas Veteriner; dan c. memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Karantina Hewan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak dan Produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 9. Ketentuan Pasal 36C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36C (1) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat berasal dari suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya. (2) Persyaratan dan tata cara pemasukan Ternak Ruminansia Indukan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ditetapkan berdasarkan analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan oleh Otoritas Veteriner. (3) Pemasukan Ternak Ruminansia Indukan yang berasal dari suatu negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga harus terlebih dahulu: a. dinyatakan bebas Penyakit Hewan Menular di negara asal oleh otoritas veteriner negara asal sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan badan kesehatan hewan dunia dan diakui oleh Otoritas Veteriner Indonesia; b. dilakukan penguatan sistem dan pelaksanaan surveilan di dalam negeri; dan c. ditetapkan tempat pemasukan tertentu. (4) Setiap Orang yang melakukan pemasukan Ternak Ruminansia Indukan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan Ternak Ruminansia Indukan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan Produk Hewan. 11. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52 (1) Setiap orang yang berusaha di bidang pembuatan, penyediaan, dan/atau peredaran obat hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Setiap orang dilarang membuat, menyediakan, dan/atau mengedarkan obat hewan yang: a. berupa sediaan biologi yang penyakitnya tidak ada di Indonesia; b. tidak memiliki nomor pendaftaran; c. tidak diberi label dan tanda; dan d. tidak memenuhi standar mutu. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 12. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54 (1) Penyediaan obat hewan dapat berasal dari produksi dalam negeri atau dari luar negeri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 13. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 (1) Setiap Orang yang akan memasukkan Produk Hewan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Persyaratan dan tata cara pemasukan Produk Hewan dari luar negeri ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan yang berbasis analisis risiko di bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60 (1) Setiap orang yang mempunyai unit usaha Produk Hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha berupa nomor kontrol veteriner dari Pemerintah Daerah Provinsi sesuai dengan kewenanganya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan unit usaha yang memproduksi dan/atau mengedarkan produk hewan yang dihasilkan oleh unit usaha skala rumah tangga yang belum memenuhi persyaratan nomor kontrol veteriner. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62 (1) Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis. (2) Rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan oleh setiap orang setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha rumah potong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 16. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69 (1) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan jasa medik veteriner, dan/atau pelayanan jasa di pusat kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan. (2) Setiap orang yang berusaha di bidang pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 17. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72 (1) Tenaga kesehatan hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Tenaga asing kesehatan hewan dapat melakukan praktik pelayanan kesehatan hewan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan perjanjian bilateral atau multilateral antara pihak Indonesia dan negara atau lembaga asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 18. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (4), Pasal 15 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 19 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 23, Pasal 24 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), Pasal 42 ayat (5), Pasal 45 ayat (1), Pasal 47 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 50 ayat (3), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (1), Pasal 53 ayat (2), Pasal 58 ayat (5), Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 62 ayat (2) atau ayat (3), Pasal 69 ayat (2), Pasal 72 ayat (1), atau Pasal 80 ayat (1) dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi admistratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. peringatan secara tertulis; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. pencabutan Perizinan Berusaha dan penarikan obat hewan, pakan, alat dan mesin, atau produk hewan dari peredaran; d. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau e. pengenaan denda. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 19. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88 Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan alat dan mesin yang belum diuji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) yang mengakibatkan kerusakan fungsi lingkungan atau membahayakan nyawa orang, dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 11 (sebelas) bulan dan denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |