Isi

<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>

Revisi Revisi 905[Daftar Isi]
Bab BAB III Peningkatan Ekosistem Investasi Dan Kegiatan Berusaha
Bagian Bagian Ketiga Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha dan Pengadaan Lahan
Paragraf Paragraf 3 Persetujuan Lingkungan
Judul Pasal 22
  Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059)
diubah:

1. Ketentuan Pasal 1 angka 11, angka 12, angka 35 diubah
sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:


Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
2. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah
upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum.
3. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan
terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup,
sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan
untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta
keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu
hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
4. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah
perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah
lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan
pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
5. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang
merupakan kesatuan utuh-menyeluruh dan saling
mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan,
stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
6. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian
upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup.
7. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan
manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan
antarkeduanya.
8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau
komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke
dalamnya,
9. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang
terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang
secara keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
10. Kajian lingkungan hidup strategis yang selanjutnya
disingkat KLHS adalah rangkaian analisis yang
sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan
telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan,
rencana, dan/atau program.
11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang
selanjutnya disebut Amdal adalah Kajian mengenai
dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu
usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk
digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta
termuat dalam Perizinan Berusaha atau persetujuan
pemerintah.
12. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup yang selanjutnya disebut
UKL-UPL adalah rangkaian proses pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup yang dituangkan dalam
bentuk standar untuk digunakan sebagai prasyarat
pengambilan keputusan serta termuat dalam Perizinan
Berusaha atau persetujuan pemerintah.
13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau
kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang
ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya
tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
14. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan
hidup yang telah ditetapkan.
15. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah
ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau
hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh
lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan
fungsinya.
16. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang
yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
17. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan
langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik,
kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang
melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
18. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan
sumber daya alam untuk menjamin pemanfaatannya
secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas
nilai serta keanekaragamannya.
19. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang
diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas
manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi
atmosfir secara global dan selain itu juga berupa
perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada
kurun waktu yang dapat dibandingkan.
20. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
21. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya
disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain
yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya,
baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup,
dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup
lain.
22. Limbah bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya
disebut Limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan yang mengandung B3.
23. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi
pengurangan, penyimpanan, pengumpulan,
pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan/atau
penimbunan.
24. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang,
menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau
bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi
tertentu dengan persyaratan tertentu ke media
lingkungan hidup tertentu.
25. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara
dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang
berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan
hidup.
26. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan
pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu
usaha dan/atau kegiatan.
27. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang
yang terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri
yang tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan
lingkungan hidup.
28. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan
untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan terhadap persyaratan hukum dan
kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah.
29. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki
kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli,
serta pola interaksi manusia dengan alam yang
menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan
hidup.
30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain
melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara
lestari.
31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat
yang secara turun temurun bermukim di wilayah
geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan
hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan
pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
32. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak
berbadan hukum.
33. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah
seperangkat kebijakan ekonomi untuk mendorong
Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke
arah pelestarian fungsi lingkungan hidup.
34. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas
terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan
masyarakat.
35. Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan
Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan
persetujuan dari Pemerintah Pusat.
36. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
37. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali
kota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintah daerah.
38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.




2. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:


Pasal 20

(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup
diukur melalui baku mutu lingkungan hidup.
(2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
a. baku mutu air;
b. baku mutu air limbah;
c. baku mutu air laut;
d. baku mutu udara ambien;
e. baku mutu emisi;
f. baku mutu gangguan; dan
g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah
ke media lingkungan hidup dengan persyaratan:
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
b. mendapat persetujuan dari pemerintah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.




3. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:


Pasal 24

(1) Dokumen Amdal merupakan dasar uji kelayakan
lingkungan hidup untuk rencana usaha dan/atau
kegiatan.
(2) Uji Kelayakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim uji
kelayakan yang dibentuk oleh Lembaga Uji Kelayakan
Pemerintah Pusat.
(3) Tim Uji Kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
terdiri atas unsur Pemerinta Pusat, Pemerintah Daerah,
dan ahli bersertifikat.
(4) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan
Keputusan kelayakan lingkungan hidup berdasarkan
hasil kelayakan lingkungan hidup.
(5) Keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), sebagai persyaratan
penerbitan Perizinan Berusaha atau Persetujuan
pemerintah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata laksana uji
kelayakan diatur dengan Peraturan Pemerintah.




4. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 25

Dokumen Amdal memuat:

a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan;
b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha
dan/atau kegiatan;
c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terkena
dampak langsung yang relevan terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan;
d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting
dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau
kegiatan tersebut dilaksanakan;
e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi
untuk menentukan kelayakan atau ketidaklayakan
lingkungan hidup; dan
f. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup.




5. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut


Pasal 26

(1) Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan
masyarakat.
(2) Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan
melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pelibatan
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.




6. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:


Pasal 27

Dalam menyusun dokumen Amdal, pemrakarsa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat
menunjuk pihak lain.



7. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:


Pasal 28

(1) Penyusun Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat
kompetensi penyusun Amdal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria
kompetensi penyusun Amdal diatur dengan Peraturan
Pemerintah.




8. Ketentuan Pasal 29 dihapus.




9. Ketentuan Pasal 30 dihapus.




10. Ketentuan Pasal 31 dihapus.




11. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:


Pasal 32

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membantu
penyusunan Amdal bagi usaha dan/atau kegiatan
Usaha Mikro dan Kecil yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup.
(2) Bantuan penyusunan Amdal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berupa fasilitasi, biaya, dan/atau
penyusunan Amdal.
(3) Penentuan mengenai usaha dan/atau kegiatan Usaha
Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan berdasarkan kriteria sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.




12. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:


Pasal 34

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak
penting terhadap lingkungan wajib memenuhi standar
UKL-UPL.
(2) Pemenuhan standar UKL-UPL dinyatakan dalam
pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan
hidup.
(3) Berdasarkan pernyataan kesanggupan pengelolaan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat


(2), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah
menerbitkan Perizinan Berusaha atau Persetujuan
pemerintah.
(4) Pemerintah Pusat menetapkan jenis usaha dan/atau
kegiatan yang wajib UKL-UPL.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL diatur
dengan Peraturan Pemerintah.




13. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:


Pasal 35

(1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi
UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2)
wajib membuat surat pernyataan kesanggupan
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang
diintegrasikan kedalam Nomor Induk Berusaha.
(2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kegiatan yang
termasuk dalam kategori beresiko rendah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat pernyataan
kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan
hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah.

14. Ketentuan Pasal 36 dihapus.

15. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 37
Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan
Perizinan Berusaha mengandung cacat hukum,
kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran
dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau
informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana
tercantum dalam keputusan kelayakan lingkungan
hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan
lingkungan hidup; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau
UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan.

16. Ketentuan Pasal 38 dihapus.

17. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 39
(1) Keputusan kelayakan lingkungan hidup diumumkan
kepada masyarakat.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui sistem elektronik dan atau cara lain
yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

18. Ketentuan Pasal 40 dihapus.

19. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 55

(1) Pemegang Perizinan Berusaha wajib menyediakan dana
penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup.
(2) Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang
ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.
(3) Pemerintah Pusat dapat menetapkan pihak ketiga
untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup
dengan menggunakan dana penjaminan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

20. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 59

(1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib
melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
(2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58
ayat (1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti
ketentuan pengelolaan limbah B3.
(3) Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak mampu melakukan sendiri Pengelolaan
limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada pihak
lain.
(4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat Perizinan
Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Persetujuan
pemerintah.
(5) Pemerintah Pusat wajib mencantumkan persyaratan
lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan kewajiban
yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam
Perizinan Berusaha.
(6) Keputusan pemberian Perizinan Berusaha wajib
diumumkan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah
B3 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

21. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 61

(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
hanya dapat dilakukan dengan Persetujuan Pemerintah
Pusat.
(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan
persyaratan dumping limbah atau bahan diatur dalam
Peraturan Pemerintah.


22. Di antara Pasal 61 dan 62 disisipkan 1 (satu) pasal yakni
Pasal 61A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61A

Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:

a. menghasilkan, mengangkut, mengedarkan,
menyimpan, memanfaatkan, dan/atau mengolah bahan
berbahaya dan beracun;
b. menghasilkan, mengangkut, menyimpan,
mengumpulkan, memanfaatkan, mengolah, dan/atau
menimbun limbah bahan berbahaya dan beracun;
c. pembuangan air limbah ke laut;
d. pembuangan air limbah ke sumber air;
e. membuang emisi ke udara; dan/atau
f. memanfaatkan air limbah untuk aplikasi ke tanah,
yang merupakan bagian dari kegiatan usaha,
pengelolaan tersebut dinyatakan dalam Amdal atau
UKL-UPL.

23. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 63

(1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan nasional;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai RPPLH nasional;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai KLHS;
e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai amdal dan UKL-UPL;
f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam
nasional dan emisi gas rumah kaca;
g. mengembangkan standar kerja sama;
h. mengoordinasikan dan melaksanakan
pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup;
i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai sumber daya alam hayati dan nonhayati,
keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan
keamanan hayati produk rekayasa genetik;
j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai pengendalian dampak perubahan iklim
dan perlindungan lapisan ozon;
k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai B3, limbah, serta limbah B3;
l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai perlindungan lingkungan laut;
m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup lintas batas negara;
n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijakan tingkat nasional dan
kebijakan tingkat provinsi;
o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
terhadap ketentuan persetujuan lingkungan dan
peraturan perundang-undangan;
p. mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup;
q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama
dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta
penyelesaian sengketa;
r. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan
pengelolaan pengaduan masyarakat;
s. menetapkan standar pelayanan minimal;
t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat,
kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat
yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
u. mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
v. mengoordinasikan, mengembangkan, dan
menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah
lingkungan hidup;
w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan,
dan penghargaan;
x. mengembangkan sarana dan standar laboratorium
lingkungan hidup;
y. menerbitkan Perizinan Berusaha atau persetujuan
pemerintah;
z. menetapkan wilayah ekoregion; dan
aa. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup.
(2) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, pemerintah provinsi sesuai dengan norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh
Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat
provinsi;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai RPPLH provinsi;
d. melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan
UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam
dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama
dan kemitraan;
g. mengoordinasikan dan melaksanakan
pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup lintas kabupaten/kota;
h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
j. mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup;
k. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama
dan penyelesaian perselisihan
antarkabupaten/antarkota serta penyelesaian
sengketa;
l. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan
pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang
program dan kegiatan;
m. melaksanakan standar pelayanan minimal;
n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat,
kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat
yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat provinsi;
o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat
provinsi;
p. mengembangkan dan menyosialisasikan
pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup;
q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan,
dan penghargaan;
r. menerbitkan Perizinan Berusaha pada tingkat
provinsi; dan
s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup
pada tingkat provinsi.
(3) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup, pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan
norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat bertugas dan berwenang:
a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat
kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan
mengenai RPPLH tingkat kabupaten/kota;
d. melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan
UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam
dan emisi gas rumah kaca pada tingkat
kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama
dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
j. melaksanakan standar pelayanan minimal;
k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat,
kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat
yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;
l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat
kabupaten/kota;
m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan
sistem informasi lingkungan hidup tingkat
kabupaten/kota;
n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan,
dan penghargaan;
o. menerbitkan Perizinan Berusaha pada tingkat
kabupaten/kota; dan
p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup
pada tingkat kabupaten/kota.
24. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 69
Setiap orang dilarang:
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan
perundang-undangan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media
lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;
f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan
hidup;
g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media
lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau persetujuan lingkungan;
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi
penyusun amdal; dan/atau
j. memberikan informasi palsu, menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau
memberikan keterangan yang tidak benar.

25. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 71

(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah melakukan
pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
(2) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat
mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan
pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang
bertanggung jawab di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Pemerintah Pusat
atau Pemerintah Daerah menetapkan pejabat pengawas
lingkungan hidup yang merupakan pejabat fungsional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pejabat pengawas
lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah.

26. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 72
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat wajib
melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan terhadap Perizinan Berusaha atau
Persetujuan pemerintah.



27. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 73
Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang Perizinan
Berusaha atau Persetujuan pemerintah diterbitkan oleh
Pemerintah Daerah jika Menteri menganggap terjadi
pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan norma, standar,
prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah
Pusat.


28. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 76
(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerapkan
sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan
pelanggaran terhadap Perizinan Berusaha atau
Persetujuan pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

29. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 77
Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam hal
Menteri menganggap Pemerintah Daerah secara sengaja
tidak menerapkan sanksi administratif terhadap
pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.

30. Ketentuan Pasal 79 dihapus.

31. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 82

(1) Pemerintah Pusat berwenang untuk memaksa
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk
melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
yang dilakukannya.
(2) Pemerintah Pusat berwenang atau dapat menunjuk
pihak ketiga untuk melakukan pemulihan lingkungan
hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

32. Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 3 (tiga) pasal
yakni:
a. Pasal 82A yang berbunyi sebagai berikut:


Pasal 82A

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
tanpa memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal 59 ayat (4),
atau Persetujuan dari Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b dikenai sanksi administratif.

b. Pasal 82B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82B

(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3),
Pasal 36 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 59 ayat (4)
atau Persetujuan dari Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b atau Pasal
61 yang tidak sesuai dengan kewajiban dalam
Perizinan Berusaha atau Persetujuan Pemerintah
dan/atau melanggar ketentuan Peraturan Perundang-
undangan di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dikenai sanksi administratif.

(2) Setiap orang yang melakukan pelanggaran larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, yaitu:

a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
huruf a, dimana perbuatan tersebut dilakukan
karena kelalaian dan tidak mengakibatkan bahaya
kesehatan manusia dan/atau luka dan/atau luka
berat, dan/atau matinya orang dikenai sanksi
administratif dan mewajibkan kepada Penanggung
Jawab perbuatan itu untuk melakukan pemulihan
fungsi lingkungan hidup dan/atau tindakan lain
yang diperlukan; atau

b. menyusun Amdal tanpa memiliki sertifikat
kompetensi penyusun Amdal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 huruf i dikenai sanksi
administratif.

(3) Setiap orang yang karena kelalaiannya melakukan
perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air
laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup
yang tidak sesuai dengan Perizinan Berusaha yang
dimilikinya dikenai sanksi administratif.

c. Pasal 82C yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82C

(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82A dan Pasal 82B ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
berupa:

a. teguran tertulis;

b. paksaan pemerintah;

c. denda administratif;

d. pembekuan perizinan berusaha; dan/atau

e. pencabutan perizinan berusaha.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran
denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

33. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:


Pasal 88

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan
ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha
dan/atau kegiatannya.


34. Ketentuan Pasal 93 dihapus.

35. Ketentuan Pasal 102 dihapus.

36. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 109

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
tanpa memiliki persetujuan lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal
59 ayat (4), atau Persetujuan dari Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b yang
mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap
kesehatan, keselamatan, keamanan, dan lingkungan,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)

37. Ketentuan Pasal 110 dihapus.

38. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 111

Pejabat pemberi persetujuan lingkungan yang menerbitkan
persetujuan lingkungan tanpa dilengkapi dengan Amdal
atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).

39. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 112

Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak
melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan
perundang-undangan dan persetujuan lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 yang
mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).