<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>
Revisi | Revisi 812[Daftar Isi] |
Bab | BAB III PENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI DAN KEGIATAN BERUSAHA |
Bagian | Bagian Keempat Penyederhanaan Perizinan Berusaha Sektor Serta Kemudahan Dan Persyaratan Investasi |
Paragraf | Paragraf 11 Kesehatan, Obat, dan Makanan |
Judul | Pasal 64 |
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 7 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. 2. Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. 3. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. 4. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. 5. Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. 6. Produksi Pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk Pangan. 7. Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil produksi dalam negeri, Cadangan Pangan Nasional, dan Impor Pangan. 8. Cadangan Pangan Nasional adalah persediaan Pangan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk konsumsi manusia dan untuk menghadapi masalah kekurangan Pangan, gangguan pasokan dan harga, serta keadaan darurat. 9. Cadangan Pangan Pemerintah adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh Pemerintah. 10. Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah provinsi. 11. Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. 12. Cadangan Pangan Pemerintah Desa adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah desa. 13. Cadangan Pangan Masyarakat adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh masyarakat di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah tangga. 14. Penyelenggaraan Pangan adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam penyediaan, keterjangkauan, pemenuhan konsumsi Pangan dan Gizi, serta keamanan Pangan dengan melibatkan peran serta masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu. 15. Pangan Pokok adalah Pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal. 16. Penganekaragaman Pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi Pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal. 17. Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. 18. Pangan Segar adalah Pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan Pangan. 19. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan. 20. Petani adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang Pangan. 21. Nelayan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. 22. Pembudi Daya Ikan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya membesarkan, membiakkan, dan/atau memelihara ikan dan sumber hayati perairan lainnya serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol. 23. Perdagangan Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan/atau pembelian Pangan, termasuk penawaran untuk menjual Pangan dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan Pangan dengan memperoleh imbalan. 24. Ekspor Pangan adalah kegiatan mengeluarkan Pangan dari daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen. 25. Impor Pangan adalah kegiatan memasukkan Pangan ke dalam daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen. 26. Peredaran Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran Pangan kepada masyarakat, baik diperdagangkan maupun tidak. 27. Bantuan Pangan adalah Bantuan Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dalam mengatasi Masalah Pangan dan Krisis Pangan, meningkatkan akses Pangan bagi masyarakat miskin dan/atau rawan Pangan dan Gizi, dan kerja sama internasional. 28. Masalah Pangan adalah keadaan kekurangan, kelebihan, dan/atau ketidakmampuan perseorangan atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan Pangan dan Keamanan Pangan. 29. Krisis Pangan adalah kondisi kelangkaan Pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh, antara lain, kesulitan distribusi Pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, dan konflik sosial, termasuk akibat perang. 30. Sanitasi Pangan adalah upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi Pangan yang sehat dan higienis yang bebas dari bahaya cemaran biologis, kimia, dan benda lain. 31. Persyaratan Sanitasi adalah standar kebersihan dan kesehatan yang harus dipenuhi untuk menjamin Sanitasi Pangan. 32. Iradiasi Pangan adalah metode penanganan Pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan, membebaskan Pangan dari jasad renik patogen, serta mencegah pertumbuhan tunas. 33. Rekayasa Genetik Pangan adalah suatu proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul. 34. Pangan Produk Rekayasa Genetik adalah Pangan yang diproduksi atau yang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetik. 35. Kemasan Pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus Pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan Pangan maupun tidak. 36. Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan kandungan Gizi Pangan. 37. Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam Pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. 38. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum. 39. Pelaku Usaha Pangan adalah Setiap Orang yang bergerak pada satu atau lebih subsistem agribisnis Pangan, yaitu penyedia masukan produksi, proses produksi, pengolahan, pemasaran, perdagangan, dan penunjang. 40. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 41. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. 2. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Sumber penyediaan Pangan diprioritaskan berasal dari: a. Produksi Pangan dalam negeri; b. Cadangan Pangan Nasional; dan/atau c. Impor. (2) Sumber penyediaan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil melalui kebijakan tarif dan non tarif. 3. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Produksi Pangan dalam negeri digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi Pangan. (2) Dalam hal Ketersediaan Pangan untuk kebutuhan konsumsi dan cadangan Pangan sudah tercukupi, kelebihan Produksi Pangan dalam negeri dapat digunakan untuk keperluan lain. 4. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36 (1) Impor Pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. (2) Impor Pangan Pokok dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan cadangan pangan nasional. (3) Impor Pangan dan Impor Pangan Pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan memperhatikan kepentingan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, serta Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil. 5. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39 Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani, peningkatan kesejahteraan petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, serta Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil. 6. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68 (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin terwujudnya penyelenggaraan Keamanan Pangan di setiap rantai Pangan secara terpadu. (2) Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan. (3) Pelaku Usaha Pangan termasuk Usaha Mikro dan Kecil wajib menerapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara bertahap berdasarkan jenis Pangan dan skala usaha Pangan. (5) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah wajib membina dan mengawasi pelaksanaan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan termasuk pentahapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 7. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72 (1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), Pasal 71 ayat (1), dan/atau ayat (2) dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. denda; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; d. ganti rugi; dan/atau e. pencabutan Perizinan Berusaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. 8. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74 (1) Pemerintah Pusat wajib memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan untuk diedarkan. (2) Pemeriksaan keamanan bahan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka pemenuhan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. 9. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77 (1) Setiap Orang dilarang memproduksi Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses Produksi Pangan dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 10. Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 81 (1) Iradiasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dilakukan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 11. Pasal 87 dihapus. 12. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88 (1) Pelaku Usaha Pangan di bidang Pangan Segar harus memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar. (2) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib membina, mengawasi, dan memfasilitasi pengembangan usaha Pangan Segar untuk memenuhi persyaratan teknis minimal Keamanan Pangan dan Mutu Pangan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (3) Penerapan standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap sesuai dengan jenis Pangan Segar serta jenis dan/atau skala usaha. 13. Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan satu pasal, yakni Pasal 89A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89A (1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 86 ayat (2), atau Pasal 89 dikenai sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. denda; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; d. ganti rugi; dan/atau e. pencabutan Perizinan Berusaha. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. 14. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91 (1) Dalam hal pengawasan keamanan, mutu, dan Gizi, setiap Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran, Pelaku Usaha Pangan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. (2) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan terhadap produk Pangan Olahan tertentu yang diproduksi oleh Usaha Mikro dan Kecil. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. 15. Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 133 Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah). 16. Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 134 (1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara pengolahan Pangan, yang dapat menghambat penurunan atau kehilangan kandungan Gizi bahan baku Pangan yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau sedang. (3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72. 17. Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 135 (1) Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran Pangan yang tidak memenuhi Persyaratan Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau sedang. (3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72. 18. Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 139 (1) Setiap Orang yang dengan sengaja membuka kemasan akhir Pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban gangguan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau sedang. (3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72. 19. Ketentuan Pasal 140 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 140 (1) Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan yang dengan sengaja tidak memenuhi standar Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) yang mengakibatkan timbulnya korban gangguan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau sedang. (3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89A. 20. Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 141 (1) Setiap Orang yang dengan sengaja memperdagangkan Pangan yang tidak sesuai dengan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang tercantum dalam label Kemasan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 yang mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah. (3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89A ayat (2). 21. Ketentuan Pasal 142 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 142 (1) Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja tidak memiliki Perizinan Berusaha terkait Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengenaan sanksi pidana terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah. (3) Pelaku usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89A ayat (2). |