Isi

<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>

Revisi Revisi 812[Daftar Isi]
Bab BAB III PENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI DAN KEGIATAN BERUSAHA
Bagian Bagian Ketiga Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha dan Pengadaan Lahan
Paragraf Paragraf 2 Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
Judul Pasal 20
  Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5214) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 14 dan angka 15 diubah serta angka 13 dihapus sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Spasial adalah aspek keruangan suatu objek atau kejadian yang mencakup lokasi, letak, dan posisinya.
2. Geospasial atau ruang kebumian adalah aspek keruangan yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu objek atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat tertentu.
3. Data Geospasial yang selanjutnya disingkat DG adalah data tentang lokasi geografis, dimensi atau ukuran, dan/atau karakteristik objek alam dan/atau buatan manusia yang berada di bawah, pada, atau di atas permukaan bumi.
4. Informasi Geospasial yang selanjutnya disingkat IG adalah DG yang sudah diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang kebumian.
5. Informasi Geospasial Dasar yang selanjutnya disingkat IGD adalah IG yang berisi tentang objek yang dapat dilihat secara langsung atau diukur dari kenampakan fisik di muka bumi dan yang tidak berubah dalam waktu yang relatif lama.
6. Informasi Geospasial Tematik yang selanjutnya disingkat IGT adalah IG yang menggambarkan satu atau lebih tema tertentu yang dibuat mengacu pada IGD.
7. Skala adalah angka perbandingan antara jarak dalam suatu IG dengan jarak sebenarnya di muka bumi.
8. Titik Kontrol Geodesi adalah posisi di muka bumi yang ditandai dengan bentuk fisik tertentu yang dijadikan sebagai kerangka acuan posisi untuk IG.
9. Jaring Kontrol Horizontal Nasional yang selanjutnya disingkat JKHN adalah sebaran titik kontrol geodesi horizontal yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi.
10. Jaring Kontrol Vertikal Nasional yang selanjutnya disingkat JKVN adalah sebaran titik kontrol geodesi vertikal yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi.
11. Jaring Kontrol Gayaberat Nasional yang selanjutnya disingkat JKGN adalah sebaran titik kontrol geodesi gayaberat yang terhubung satu sama lain dalam satu kerangka referensi.
12. Peta Rupabumi Indonesia adalah peta dasar yang memberikan informasi yang mencakup wilayah darat, pantai dan laut.
13. Dihapus.
14. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
15. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
16. Badan adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang mempunyai tugas, fungsi, dan kewenangan yang membidangi urusan tertentu dalam hal ini bidang penyelenggaraan IGD.
17. Instansi Pemerintah adalah kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian.
18. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, atau badan usaha.
19. Badan Usaha adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha yang berbadan hukum.
2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Peta dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri atas:
a. garis pantai;
b. hipsografi;
c. perairan;
d. nama rupabumi;
e. batas wilayah;
f. transportasi dan utilitas;
g. bangunan dan fasilitas umum; dan
h. penutup lahan.
(2) Peta dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Peta Rupabumi Indonesia.
(3) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup wilayah darat dan wilayah laut, termasuk wilayah pantai.
3. Pasal 12 dihapus.
4. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Garis pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a merupakan garis pertemuan antara daratan dengan lautan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut.
(2) Garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. garis pantai pasang tertinggi;
b. garis pantai tinggi muka air laut rata-rata; dan
c. garis pantai surut terendah.
(3) Garis pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan mengacu pada JKVN.
5. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) IGD diselenggarakan secara bertahap dan sistematis untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wilayah yurisdiksinya.
(2) IGD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimutakhirkan secara periodik dalam jangka waktu tertentu atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(3) Pemuktahiran IGD sewaktu-waktu apabila diperlukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal terjadi bencana alam, perang, pemekaran atau perubahan wilayah administratif, atau kejadian lainnya yang berakibat berubahnya unsur IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sehingga mempengaruhi pola dan struktur kehidupan masyarakat.
(4) IGD ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur, kriteria, dan jangka waktu pemutakhiran IGD diatur dalam Peraturan Pemerintah.
6. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Peta Rupabumi Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) diselenggarakan pada skala 1:1.000, 1:5.000, 1:25.000, 1:50.000, 1:250.000, 1:1.000.000.
(2) Peta Rupabumi Indonesia skala 1:1.000 diselenggarakan pada wilayah tertentu sesuai dengan kebutuhan.
(3) Peta Rupabumi Indonesia selain pada skala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan pada skala lain sesuai dengan kebutuhan.
7. Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 22A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22A
(1) Penyelenggaraan IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dapat dilakukan melalui kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan badan usaha milik negara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama Pemerintah Pusat dengan badan usaha milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.
8. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
(1) Pengumpulan Data Geospasial harus memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat apabila:
a. dilakukan di daerah terlarang;
b. berpotensi menimbulkan bahaya; atau
c. menggunakan tenaga asing dan wahana milik asing selain satelit.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menjamin keselamatan dan keamanan bagi pengumpul data dan bagi masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
9. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 55
(1) Pelaksanaan IG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang dilakukan oleh:
a. orang perseorangan wajib memenuhi kualifikasi sebagai tenaga profesional yang tersertifikasi di bidang IG;
b. kelompok orang wajib memenuhi klasifikasi dan kualifikasi sebagai penyedia jasa di bidang IG serta memiliki tenaga profesional yang tersertifikasi di bidang IG; atau
c. badan usaha wajib memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan IG yang dilaksanakan oleh orang perseorangan, kelompok orang, dan badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
10. Pasal 56 dihapus.