Isi

<<Pasal Sebelumnya | Pasal Berikut >>

Revisi Revisi 812[Daftar Isi]
Bab BAB III PENINGKATAN EKOSISTEM INVESTASI DAN KEGIATAN BERUSAHA
Bagian Bagian Ketiga Penyederhanaan Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha dan Pengadaan Lahan
Paragraf Paragraf 2 Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
Judul Pasal 17
  Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 7, angka 8, dan angka 32 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarki memiliki hubungan fungsional.
4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
5. Penataan ruang adalah suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
7. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
9. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang.
10. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
11. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
12. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
13. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
14. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya.
15. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.
16. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
17. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional.
18. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat wilayah.
19. Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan.
20. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.
21. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
22. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan.
23. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
24. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
25. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
26. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.
27. Kawasan megapolitan adalah kawasan yang terbentuk dari 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.
28. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan, dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
29. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
30. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
31. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam, dengan mempertimbangkan aspek fungsi ekologis, resapan air, ekonomi, sosial budaya, dan estetika.
32. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang adalah kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang.
33. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi.
34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam bidang penataan ruang.
2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan:
a. kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana;
b. potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan, kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, dan lingkungan hidup serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan; dan
c. geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.
(2) Penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dilakukan secara berjenjang dan komplementer.
(3) Penataan ruang wilayah secara berjenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan cara rencana tata ruang wilayah nasional dijadikan acuan dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota, dan rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi acuan bagi penyusunan rencana tata ruang kabupaten/kota.
(4) Penataan ruang wilayah secara komplementer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penataan ruang wilayah nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah kabupaten/kota yang disusun saling melengkapi satu sama lain dan bersinergi sehingga tidak terjadi tumpang tindih pengaturan rencana tata ruang.
(5) Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang wilayah yurisdiksi dan wilayah kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
(6) Penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan.
(7) Pengelolaan sumber daya ruang laut dan ruang udara diatur dengan Undang-Undang tersendiri.
(8) Dalam hal terjadi ketidaksesuaian antara pola ruang rencana tata ruang dan kawasan hutan, izin dan/atau hak atas tanah, penyelesaian ketidaksesuaian tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah.
3. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) Wewenang Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional;
b. pemberian bantuan teknis bagi penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi, wilayah kabupaten/kota, dan rencana detail tata ruang;
c. pembinaan teknis dalam kegiatan penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota, dan rencana detail tata ruang;
d. pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional;
e. pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
f. kerja sama penataan ruang antarnegara dan memfasilitasi kerja sama penataan ruang antarprovinsi.
(2) Wewenang Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan penataan ruang nasional meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah nasional;
b. pemanfaatan ruang wilayah nasional; dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.
(3) Wewenang Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional meliputi:
a. penetapan kawasan strategis nasional;
b. perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional;
c. pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional; dan
d. pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.
(4) Dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang, Pemerintah Pusat berwenang menyusun dan menetapkan pedoman bidang penataan ruang.
(5) Dalam pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pemerintah Pusat:
a. menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan:
1. rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional; dan
2. pedoman bidang penataan ruang.
b. menetapkan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan penyelenggaraan penataan ruang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
4. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
5. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
Wewenang Pemerintah Daerah provinsi dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi; dan
c. kerja sama penataan ruang antarprovinsi dan fasilitasi kerja sama penataan ruang antarkabupaten/kota.
6. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
Wewenang Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a. pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; dan
c. kerja sama penataan ruang antarkabupaten/ kota.
7. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14
(1) Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan:
a. rencana umum tata ruang; dan
b. rencana rinci tata ruang.
(2) Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a secara hierarki terdiri atas:
a. rencana tata ruang wilayah nasional;
b. rencana tata ruang wilayah provinsi; dan
c. rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota.
(3) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. rencana tata ruang pulau/kepulauan dan rencana tata ruang kawasan strategis nasional; dan
b. rencana detail tata ruang kabupaten/kota.
(4) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun sebagai perangkat operasional rencana umum tata ruang.
(5) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a disusun apabila:
a. rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang; dan/atau
b. rencana umum tata ruang yang mencakup wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam rencana umum tata ruang tersebut memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat ketelitian peta rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
8. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 14A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14A
(1) Pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan dengan memperhatikan:
a. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan kajian lingkungan hidup strategis; dan
b. kedetailan informasi tata ruang yang akan disajikan serta kesesuaian ketelitian peta rencana tata ruang.
(2) Penyusunan kajian lingkungan hidup strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam penyusunan rencana tata ruang.
(3) Pemenuhan kesesuaian ketelitian peta rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui penyusunan peta rencana tata ruang di atas Peta Dasar.
(4) Dalam hal Peta Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia, penyusunan rencana tata ruang dilakukan dengan menggunakan Peta Dasar lainnya.
9. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
(1) Muatan rencana tata ruang mencakup:
a. rencana struktur ruang; dan
b. rencana pola ruang.
(2) Rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana.
(3) Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya.
(4) Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan.
(5) Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pada rencana tata ruang wilayah ditetapkan luas kawasan hutan dan penutupan hutan untuk setiap pulau, daerah aliran sungai, provinsi, kabupaten/kota, berdasarkan kondisi biogeofisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.
(6) Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
10. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) Penetapan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan rencana detail tata ruang terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
(2) Sebelum diajukan persetujuan substansi kepada Pemerintah Pusat, rencana detail tata ruang kabupaten/kota yang dituangkan dalam rancangan Peraturan Kepala Daerah Kabupaten/Kota terlebih dahulu dilakukan konsultasi publik termasuk dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
(3) Bupati/Wali Kota wajib menetapkan rancangan peraturan kepala daerah kabupaten/kota tentang rencana detail tata ruang paling lama 1 (satu) bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
(4) Dalam hal bupati/wali kota tidak menetapkan rencana detail tata ruang setelah jangka waktu sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3), rencana detail tata ruang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan rencana detail tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
11. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah nasional;
b. rencana struktur ruang wilayah nasional yang meliputi sistem perkotaan nasional yang terkait dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana utama;
c. rencana pola ruang wilayah nasional yang meliputi kawasan lindung nasional dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis nasional;
d. penetapan kawasan strategis nasional;
e. arahan pemanfaatan ruang yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional yang berisi indikasi arahan zonasi sistem nasional, arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
(2) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang nasional;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah nasional;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah nasional;
d. pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta keserasian antarsektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
f. penataan ruang kawasan strategis nasional; dan
g. penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
(3) Jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah 20 (dua puluh) tahun.
(4) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam setiap periode 5 (lima) tahunan.
(5) Peninjauan kembali rencana tata ruang dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
a. bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang; dan
d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
(6) Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
12. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi mengacu pada:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ;
b. pedoman bidang penataan ruang; dan
c. rencana pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi harus memperhatikan:
a. perkembangan permasalahan nasional dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang provinsi;
b. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi provinsi;
c. keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan kabupaten/kota;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana pembangunan jangka panjang daerah;
f. rencana tata ruang wilayah provinsi yang berbatasan; dan
g. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
13. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
(1) Rencana tata ruang wilayah provinsi memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah provinsi;
b. rencana struktur ruang wilayah provinsi yang meliputi sistem perkotaan dalam wilayahnya yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana wilayah provinsi;
c. rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi;
d. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
e. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi arahan zonasi sistem provinsi, arahan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
(2) Rencana tata ruang wilayah provinsi menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam wilayah provinsi;
d. pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah kabupaten/kota, serta keserasian antarsektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
f. penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
(3) Jangka waktu rencana tata ruang wilayah provinsi adalah 20 (dua puluh) tahun.
(4) Rencana tata ruang wilayah provinsi ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam setiap periode 5 (lima) tahunan.
(5) Peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah provinsi dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
a. bencana alam yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang; dan
d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
(6) Rencana tata ruang wilayah provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
(7) Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib ditetapkan paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
(8) Dalam hal Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum ditetapkan, Gubernur menetapkan rencana tata ruang wilayah provinsi paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
(9) Dalam hal rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) belum ditetapkan oleh Gubernur, rencana tata ruang wilayah provinsi ditetapkan oleh Pemerintah Pusat paling lama 4 (empat) bulan terhitung sejak mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
14. Pasal 24 dihapus.
15. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten mengacu pada:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi;
b. pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan
c. rencana pembangunan jangka panjang daerah.
(2) Penyusunan rencana tata ruang wilayah kabupaten harus memperhatikan:
a. perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kabupaten;
b. upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kabupaten;
c. keselarasan aspirasi pembangunan kabupaten;
d. daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;
e. rencana pembangunan jangka panjang daerah; dan
f. rencana tata ruang wilayah kabupaten yang berbatasan.
16. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) Rencana tata ruang wilayah kabupaten memuat:
a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten;
b. rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten;
c. rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten dan kawasan budi daya kabupaten;
d. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima tahunan; dan
e. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan umum zonasi, ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang, ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.
(2) Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman untuk:
a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten;
d. pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor; dan
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi.
(3) Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi dasar untuk Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan administrasi pertanahan.
(4) Jangka waktu rencana tata ruang wilayah kabupaten adalah 20 (dua puluh) tahun.
(5) Rencana tata ruang wilayah kabupaten ditinjau kembali 1 (satu) kali pada setiap periode 5 (lima) tahunan.
(6) Peninjauan kembali Rencana tata ruang wilayah kabupaten dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis berupa:
a. bencana alam yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
b. perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
c. perubahan batas wilayah daerah yang ditetapkan dengan Undang-Undang; dan
d. perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis.
(7) Rencana tata ruang wilayah kabupaten ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten.
(8) Peraturan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib ditetapkan paling lama 2 (dua) bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
(9) Dalam hal Peraturan Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum ditetapkan, Bupati menetapkan rencana tata ruang wilayah kabupaten paling lama 3 (tiga) bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
(10) Dalam hal rencana tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (9) belum ditetapkan oleh Bupati, rencana tata ruang wilayah kabupaten ditetapkan oleh Pemerintah Pusat paling lama 4 (empat) bulan setelah mendapat persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat.
17. Pasal 27 dihapus.
18. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 ditambah 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34A
(1) Dalam hal terdapat perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) huruf d, Pasal 23 ayat (5) huruf d, dan Pasal 26 ayat (6) huruf d belum dimuat dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, pemanfaatan ruang tetap dapat dilaksanakan.
(2) Pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah mendapat rekomendasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dari Pemerintah Pusat.
19. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui:
a. ketentuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang;
b. pemberian insentif dan disinsentif; dan
c. pengenaan sanksi.
20. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diterbitkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh Pemerintah Pusat.
(3) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, batal demi hukum.
(4) Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah Pusat.
(5) Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), dapat dimintakan ganti kerugian yang layak kepada instansi pemberi persetujuan.
(6) Kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dengan memberikan ganti kerugian yang layak.
(7) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang dilarang menerbitkan persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan tata cara pemberian ganti kerugian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
21. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
(1) Penataan ruang kawasan perdesaan diarahkan untuk:
a. pemberdayaan masyarakat perdesaan;
b. pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya;
c. konservasi sumber daya alam;
d. pelestarian warisan budaya lokal;
e. pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan; dan
f. penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan terhadap kawasan lahan abadi pertanian pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dalam Undang-Undang.
(3) Penataan ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada:
a. kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten; atau
b. kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten pada satu atau lebih wilayah provinsi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penataan ruang kawasan perdesaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
22. Pasal 49 dihapus.
23. Pasal 50 dihapus.
24. Pasal 51 dihapus.
25. Pasal 52 dihapus.
26. Pasal 53 dihapus.
27. Pasal 54 dihapus.
28. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 60
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan tuntuan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan persetujuan kegiatan penataan ruang dan/atau penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan/atau kepada pelaksana kegiatan pemanfaatan ruang apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
29. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 61
Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan rencana tata ruang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.
30. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 62
Setiap orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 dikenai sanksi administratif.
31. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 65
(1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan melibatkan peran masyarakat.
(2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, antara lain, melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) terdiri atas orang perseorangan dan pelaku usaha.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
32. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 69
(1) Setiap orang yang dalam melakukan usaha dan/atau kegiatannya memanfaatkan ruang yang telah ditetapkan tanpa memiliki persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
33. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 70
(1) Setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dari pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
34. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 71
Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
35. Pasal 72 dihapus.
36. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 74
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, atau Pasal 71 dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 1/3 (sepertiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, atau Pasal 71.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
37. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 75
(1) Setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69, Pasal 70, atau Pasal 71 dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak pidana.
(2) Tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata.